Bali adalah salah satu destinasi bagi wisatawan domestik atau mancanegara, betul? UAS berlalu dan liburan datang. Sebelum menyambut semester 4, bolehlah jalan-jalan ke Bali dulu. Niatnya sih mau
backpacking ke sana, tapi karena baru pertama kali
backpacking, alhasil jadinya
semi-backpacking.
Hari Pertama
Dari Yogyakarta, kami naik kereta ekonomi Sri Tanjung dari Stasiun Lempuyangan menuju ke Stasiun Surabaya Gubeng Lama. Harga tiket Sri Tanjung Rp 55.000,00/orang dewasa saja. Sebenarnya, kami bisa saja meneruskan perjalanan menuju Banyuwangi menggunakan Sri Tanjung, tapi kami ingin jalan-jalan dulu di Surabaya. Mumpung mampir hehehe. Kami berangkat pukul 07.45 dan sampai di Surabaya sekitar pukul 15.45. Kami solat terlebih dahulu di stasiun. Perjalanan yang ditempuh selama 8 jam membuat perut kami lapar. Akhirnya kami singgah di Warung Sederhana Gubeng Pojok. Warung ini terletak tepat di sebelah selatan stasiun, jadi masih sekomplek dengan stasiun. Kalau bingung bisa tanya penduduk setempat karena warung ini cukup terkenal dengan kulinernya. Harga makanannya relatif terjangkau. Harga makanan, seperti soto, rawon, krengsengan (semacam oseng-oseng hati ayam), dll sekitar Rp 10.000,00/porsi. Harga minuman, seperti es teh, es jeruk, dll sekitar Rp 2.000,00.
|
(Angsle) |
|
(Krengsengan) |
Sambil menunggu kereta Mutiara Timur yang akan mengantar kami menuju Banyuwangi, kami jalan-jalan di kota Surabaya. Tidak jauh-jauh, kami berjalan sekitar 10 menit menuju Plaza Surabaya, mal yang cukup ramai di Surabaya. Menuju Plaza Surabaya, kita juga melewati delta yang terkenal dengan museum kapal selam di sebelahnya. Di Plaza Surabaya, kami membeli beberapa roti dan buah-buahan untuk sarapan keesokan harinya dan mencoba kuliner Surabaya lain, yaitu angsle. Angsle adalah minuman khas (mirip ronde) yang terdiri atas roti tawar, kacang merah, tape, kuahnya semacam santan. Kalau ke Jawa Timur, memang wajib hukumnya mencoba angsle. Harga angsle umumnya juga murah, sekitar Rp 5.000,00/porsi.
|
(Delta-Difoto dari jembatan) |
Karena maghrib menjelang, kami solat dulu di masjid Gubeng (dekat stasiun Surabaya Gubeng Baru). Setelah itu, kami mencari makan malam. Kami menemukan pedagang kaki lima yang menjual ayam goreng, bebek goreng, lele goreng di seberang masjid gubeng. Nasi yang banyak dan bebek goreng yang lezat dengan harga yang relatif terjangkau (Rp8.000,00-Rp13.000,00/porsi) membuat kami puas. Fyi, dari stasiun hingga jalan-jalan ke Plaza Surabaya, dan kembali lagi ke stasiun kami tempuh dengan berjalan kaki. Jarak antara tempat-tempat ini memang relatif dekat. Tapi, saya sarankan hati-hati ketika menyeberang jalan di depan Stasiun Gubeng karena jalanan sangat ramai dan kami agak bingung dengan
traffic lightnya.
Akhirnya, pukul 22.00 kami berangkat menuju Banyuwangi dari Stasiun Surabaya Gubeng Baru menggunakan kereta bisnis Mutiara Timur Malam. Harga tiket kereta bisnis Mutiara Timur Malam Rp 110.000,00/orang dewasa. Saya sarankan, jika berangkat langsung dari Surabaya, lebih baik beli tiket langsung Surabaya-Denpasar, karena sebenarnya PT KAI menyediakan bus Damri dari Banyuwangi ke Denpasar. Tapi, karena saya pesan tiketnya di Yogyakarta, akhirnya kami hanya membeli tiket Surabaya-Banyuwangi. Lebih hemat lagi kalau anda bisa kuat naik Sri Tanjung dari Yogyakarta langsung ke Banyuwangi.
Hari Kedua
Kereta Mutiara Timur Malam mengantarkan kami ke Stasiun Banyuwangi sekitar pukul 04.30. Begitu keluar stasiun, kami disambut oleh calo yang menawarkan tiket bis menuju Denpasar dengan harga lumayan mahal. Jika pandai menawar, harga bis Rp 50.000,00/orang pun bisa didapat. Tetapi, karena kami sudah lelah, maka ketika calo menawarkan harga bis Rp 70.000,00/orang pun akhirnya terpaksa kami terima. Dari Stasiun Banyuwangi menuju ke pelabuhan kami tempuh menggunakan becak seharga Rp 10.000,00. Sebenarnya kalau jalan kaki pun bisa karena jarak dari stasiun ke Pelabuhan Ketapang cukup dekat. Kami terpaksa naik becak karena takut ketinggalan kapal karena kami juga belum solat subuh.
Sesampainya di pelabuhan, kami langsung membeli tiket kapal seharga Rp 7.500,00/orang dan cepat-cepat menuju musolla untuk solat subuh. Setelah solat, kami berlari-lari menuju kapal karena kata calo yang bersangkutan, kapal yang akan kami naiki segera berangkat. Di atas kapal, kami menikmati angin laut pagi dan matahari terbit. Sayangnya, matahari tampak malu-malu menampakkan sinarnya karena langit pada pagi itu sedikit berawan. Saya sarankan ketika di kapal, berkumpullah dengan banyak orang karena beberapa kali saya mendengar kasus pencopetan atau ancaman dilakukan di atas kapal. Percaya dirilah dan jangan terlihat gugup.
|
(Selat Bali) |
Kami turun dari kapal menggunakan bis yang tadi kami bayar melalui calo. Jangan lupa siapkan KTP begitu keluar pelabuhan karena setiap orang yang memasuki tanah Bali selalu dicek tanda pengenalnya. Menurut saya ini dampak traumatik dari insiden bom Bali. Perjalanan dari Pelabuhan Gilimanuk menuju Terminal Ubung cukup jauh. Oya, saya sarankan sebelum memilih bis yang akan dinaiki, bertanyalah terlebih dahulu apakah bis tersebut berhenti di Ubung atau tidak. Akan lebih baik jika bis tersebut langsung mengantar ke Denpasar, tapi biasanya hal ini jarang terjadi. Di sepanjang perjalanan, kita disuguhkan dengan pemandangan Bali yang khas, yaitu rumah-rumah dengan tempat peribadatan di depannya. Hal ini jarang sekali kita temukan di Pulau Jawa.
Begitu sampai di Ubung, saya sarankan mengambil angkot menuju ke Tegal. Kemudian dari Tegal, ambil angkot menuju ke Kute. Tetapi, ketika kami sampai di Ubung, hal ini sulit kami wujudkan karena kami sulit mendapat angkot menuju ke Tegal. Mungkin kami kurang beruntung. Akhirnya, ada angkot kosong yang kebetulan supirnya adalah mantan
tour guide. Kami diantarkan oleh supir angkot tersebut langsung menuju Kute di daerah Monumen Bom Bali dengan biaya Rp 70.000,00, harga yang lumayan mahal.
Sesampainya di Monumen Bom Bali sekitar pukul 14.00, kami dengan mudah menemukan Jalan Poppies Lane II (tepat di depan Monumen Bom Bali). Kami langsung memasuki gang tersebut dan dengan mudah menemukan Losmen Arthawan di kiri jalan. Fyi, losmen ini adalah penginapan yang sering direkomendasikan oleh para
backpacker. Dengan harga Rp 100.000,00/malam, kami bisa mendapatkan satu kamar
double bed dengan kamar mandi dalam,
fan, dan sarapan (pilih antara
pancake atau roti). Di Arthawan juga disediakan rental motor Rp 50.000,00/24 jam. Tetapi ingat, begitu rental motor, harus cepat-cepat diisi bensinnya karena motor tersebut direntalkan dengan bensin hampir kosong. Rental motor juga sudah termasuk 2 helm. Saya anjurkan juga bawa mantol dari rumah, jaga-jaga kalau di rental motor tidak disediakan jas hujan.
Setelah istirahat beberapa jam, sore harinya kami berjalan-jalan ke Pantai Kuta. Jarak tempuh dari Arthawan hingga ke Kuta hanya sekitar 5 menit berjalan kaki. Sepanjang jalan kita juga disuguhi dengan berbagai macam oleh-oleh yang dijual oleh masyarakat lokal Bali. Kami juga mampir ke Beachwalk Mall yang terletak di seberang Pantai Kuta persis. Mal ini saya rekomendasikan karena memiliki
view yang bagus. Tetapi, jika anda berniat
backpacking, saya tidak menyarankan anda untuk berbelanja di sini karena harga barang-barangnya cukup mahal. Untuk makan, saya sarankan untuk membeli masakan padang yang cenderung murah. Masakan padang dapat ditemukan di sepanjang Jalan Raya Kuta. Bagi anda yang beragama Islam, menemukan makanan halal dan murah di sekitar Jalan Legian akan cukup sulit.
Hari Ketiga
Pagi-pagi kami sudah merental motor, langsung mengisi bensin, dan langsung meluncur ke Tanah Lot. Tarif masuk ke Tanah Lot adalah Rp 10.000,00/orang. Sayangnya, kami ke Bali bersamaan dengan Hari Raya Imlek, sehingga Tanah Lot dipenuhi turis-turis asing. Ketika kami ke sini, sedang ada ibadah yang dilakukan oleh masyarakat setempat, sehingga kami turut merasakan kekhusyukan ibadah mereka. Tanah Lot akan lebih indah lagi, jika anda mengunjunginya di saat pengunjungnya tidak terlalu padat. Selain itu, saya anjurkan jangan makan siang di kompleks Tanah Lot karena harga makanannya cukup mahal. Kami membeli soto daging dengan harga Rp 30.000,00/porsi di kompleks Tanah Lot tersebut. Kapok..
|
(Their Beliefs) |
Dari Tanah Lot, kami keliling mencari oleh-oleh. Kami sempat nyasar untuk menemukan alamat pie susu Dhian (lokasinya bisa cari di Google). Saran saya, sebelum membeli, pesan pie susunya terlebih dulu. Karena kalau langsung membeli, biasanya stok pie susunya sudah habis. Kami juga sempat ke Krisna dan Joger untuk membeli oleh-oleh untuk teman dan keluarga. Sebenarnya kalau mau benar-benar
backpacking, saya anjurkan tidak usah membeli oleh-oleh. Oleh-oleh Bali memang cukup mahal dan cukup menguras kantong.
Hari Keempat
Kali ini kami juga berangkat pagi-pagi dengan rental motor. Tujuan pertama kami adalah Tanjung Benoa. Untuk menuju ke Tanjung Benoa bisa ditempuh melalui Jalan Sunset Road. Untuk yang benar-benar
backpacking, saya tidak menganjurkan untuk pergi ke Tanjung Benoa karena hiburan di Tanjung Benoa cukup mahal, seperti
banana boat, dan sejenisnya. Tetapi, kalau waktunya masih sisa tidak ada salahnya jalan-jalan ke Tanjung Benoa karena sepanjang perjalanan kita disuguhi dengan pemandangan hutan bakaunya dan villa di kanan dan kiri jalan. Di sini kami juga menemukan fakta unik bahwa sebenarnya tukang parkir di Bali tidak sebanyak tukang parkir di Jogja. Sesampainya di Tanjung Benoa kami kebingungan mencari tempat parkir dan seorang ibu-ibu penjual kelapa muda menyuruh kami untuk memarkir motor di bawah pohon kelapa. Kami sempat takut karena tidak ada tukang parkir yang menjaga. Tetapi, ternyata parkir motor di Bali tanpa tukang parkir aman-aman saja. Bahkan, kami sempat melihat mobil kosong dengan kaca mobilnya yang terbuka dibiarkan saja. Oya, setau saya, seluruh pantai di Bali
free, alias tidak ada tiket masuk, termasuk di Tanjung Benoa. Para
backpacker yang cinta pantai bisa bebas keluar masuk pantai manapun di Bali.
|
(Janur pernikahan di Bali) |
|
(Salah satu permainan di Tanjung Benoa) |
Next, kami menuju ke Uluwatu.Tempat ini salah satu favorit kami karena pemandangannya yang benar-benar menakjubkan. Kita bisa melihat deburan ombak yang mengenai tebing dan pura-pura yang berdiri kokoh dengan uniknya. Monyet-monyet yang berada di Uluwatu juga memberikan atraksi menarik, seperti rebutan pisang atau berenang di kolam sambil bergelantungan dari pohon satu ke pohon lain. Tetapi, kita harus tetap hati-hati karena kalau kita menaruh kamera atau topi atau barang ringan lainnya sembarangan, monyet-monyet ini akan dengan jahil mengambil barang kita. Untuk berjaga-jaga, lebih baik membawa kayu atau ranting panjang untuk mengusir monyet yang berniat jahil kepada kita. Tarif masuk Uluwatu adalah Rp 15.000,00/orang. Saran saya, ketika ditawari untuk membeli pisang yang dipotong-potong, lebih baik ditolak dengan halus. Selain membayar lebih mahal untuk pisang tersebut, di dalam Uluwatu, para monyetpun sepertinya sudah kenyang dan tidak begitu berminat memakan pisang yang kita bawa. Saya anjurkan untuk membeli kelapa muda di kompleks Uluwatu karena pengalaman saya ketika membeli kelapa muda di situ tidak mengecewakan.
|
(Indahnya Uluwatu) |
|
(Salah satu keunikan di Uluwatu) |
Sorenya, kami menempuh perjalanan ke Kute dengan melewati Jimbaran dan GWK. Kami memutuskan untuk kembali ke Kute. Di Pantai Kute, kami melihat
sunset dan berjalan-jalan keliling Kute sampai kami bosan. Jangan lupa juga untuk berfoto di depan Monumen Bom Bali untuk merasakan bagaimana rasanya benar-benar menjadi turis.
|
(Sunset di Pantai Kute)
|
Hari Kelima
Hari terakhir di Bali, kami berkemas pulang
. Untuk kembali ke Jogja, kami memutuskan untuk naik pesawat. Jarak dari Arthawan ke Bandara Ngurah Rai cukup dekat. Pesawat kami
take off pukul 08.00, sehingga pukul 06.30 kami sudah keluar hotel. Untuk menuju ke bandara, kami memilih naik taksi dengan mengeluarkan ongkos Rp 40.000,00 (sudah termasuk karcis taksi memasuki area bandara). Sebelum
check in, kami membeli sarapan di Bangi Kopitiam (teh tariknya
recommended). Akhirnya, kami pulang menuju Jogja. Sesampainya di Bandara Adi Sucipto, kami langsung menuju ke Stasiun Maguwoharjo yang jaraknya hanya beberapa meter dari bandara. Kami naik Prameks menuju Stasiun Lempuyangan dengan tiket Rp 8.000,00/orang dewasa.
|
(Teh tariknya nyaman) |
Begitulah
semi-backpacking kami.
Over all, saya lebih suka liburan dengan cara seperti ini dari pada memakai
travel agent. Selain menghemat uang, kita juga bisa lebih merasakan
sense dari liburan tersebut. Tanpa oleh-oleh, liburan
semi-backpacking ke Bali mungkin menghabiskan sekitar Rp 1.000.000,00-Rp 1.500.000,00/orang dewasa. Bisa lebih menghemat lagi kalau tidak perlu mampir Surabaya dan PP naik kereta-kapal-bis, tetapi tentu sangat melelahkan. Sebagai
semi-backpackers pemula, saya anjurkan untuk membawa barang-barang penting, seperti KTP (harus ada di dompet setiap saat ya), peta (dan kalau bisa alat elektronik yang memiliki fasilitas gps di dalamnya), tisu basah & kering, mantol, masker & kaca mata hitam (untuk perjalanan menggunakan motor), P3K (obat tetes mata cukup penting), kaos kaki (bagi perempuan yang tidak ingin kakinya belang), sepatu yang nyaman di kaki, kamera untuk mengabadikan momen-momen menarik, selimut (untuk alas tidur bagi yang kulitnya sensitif), dan barang-barang pribadi lain yang dibutuhkan (seperti pakaian, dsb). Gunakanlah tas ransel agar nyaman dibawa kemana-mana dan tas kecil untuk menyimpan barang-barang penting, seperti dompet dan
handphone. Pasanglah ekspresi wajah dan bahasa tubuh sepercaya diri mungkin, seakan-akan anda adalah orang asli Bali agar tidak mudah ditipu. Selain itu, pakai pakaian sederhana dan aksesoris seminimal mungkin agar tidak menarik perhatian orang yang tidak bertanggung jawab. Liburan tidak perlu mahal kok, tinggal bagaimana kita pandai-pandai mengelola uangnya. Selamat liburan! :-)