Kamis, 01 Mei 2014

Anyelir Putih

this picture taken from : cynthiathedreamer.blogspot.com


Perkenalkan namaku Amanda. Nama yang pasaran, bukan? Aku ingin menceritakan sedikit perjalananku hari ini kepada kalian. Mungkin bukan cerita yang menarik. Kalau kalian bosan, kalian bisa meninggalkan ceritaku dan berpindah ke cerita yang lain.

Ini tentang perjalananku ke sebuah kota, yaitu Semarang. Bagi sebagian besar dari kalian, Semarang adalah kota yang ruwet dan panas. Ketika hujan lebat turun, banjir segera melanda, terutama di daerah Semarang bawah. Aku setuju dengan hal itu. Tetapi, buatku Semarang lebih dari sekadar permasalahan-permasalahan tersebut. Semarang adalah tempat dimana aku dan seorang bocah laki-laki bertemu, 16 tahun yang lalu. Ketika itu, kami sama-sama berumur lima tahun dan sama-sama duduk di bangku TK. Kuingatkan kalian, ini bukan kisah cinta seperti di novel-novel remaja. Anggap saja, cerita ini hanya romantisme masa lalu yang melibatkan dua bocah TK yang nyaman satu sama lain dengan kepolosan mereka.

Di sini lah aku sekarang. Dengan membawa sebuah ransel di punggung, aku berdiri di depan bangunan TK masa kecilku dulu. Bangunannya masih seperti dulu, kuat dan kokoh. Warna bangunannya saja yang telah berganti menjadi warna pelangi. Aku membuka pintu kayu kecil dan memantapkan langkah kakiku memasuki lapangan mini TK tersebut. Kududuki sebuah ayunan sambil mengamati sekeliling. Tidak banyak yang berubah. Hanya beberapa permainan yang diperbarui untuk menjamin permainan tersebut tetap aman dipakai. Aku menyentuh permainan itu satu persatu, ayunan, jungkat jungkit, dan semuanya. Seakan-akan, aku merasakan energi memori dari permainan tersebut mengalir ke tubuhku. Taman kecil di sudut lapangan menarik perhatian. Aku memetik setangkai bunga anyelir berwarna putih. Aku melihat ke samping kanan dan kiri, memastikan tidak ada yang melihat perbuatanku itu. Senyumku mengembang.

Begitu aku meninggalkan TK, aku duduk di bangku pinggir sungai kecil dekat TK. Aku memandangi bunga anyelir itu. Dulu, seorang bocah laki-laki sering sekali memetik bunga itu diam-diam dan memberikannya padaku.
"Ssst, jangan bilang bu guru lho," katanya sambil memberikan bunga anyelir itu.
"Kamu kok nakal banget. Nanti kalo ketauan bu gulu kamu bisa dihukum lho," sahutku. Saat berumur lima tahun, aku masih belum bisa mengatakan huruf "r" dengan jelas.
Bocah laki-laki itu menyikut lenganku, "makanya jangan laporin ke bu guru." Lalu, dia pergi bermain dengan teman-teman laki-lakinya.

Entahlah, dulu kami masih sama-sama polos. Yang aku ingat, dulu aku menginginkan bunga anyelir itu, tetapi bu guru tidak pernah mengijinkan seorang pun memetik bunga. Lalu, bocah laki-laki itu nekat memetik bunga anyelir untuk menyenangkan aku. Aktivitas "ilegal" itu ia lakukan setiap kami berada di TK, walaupun akhirnya kecantikan bunga itu hilang karena aku iris kecil-kecil menggunakan penggaris, atau layu karena terlalu lama berada di dalam tas, atau bahkan hilang entah kemana. Sesederhana itu.

Aku melanjutkan perjalananku. Aku sampai di sebuah jalan yang cukup ramai dengan kendaraan yang mengebut. Suaranya bising dan sangat familiar di telingaku. Aku ingat suatu saat aku dan bocah laki-laki itu pulang bersama dari TK. Orang tua kami sedang tidak bisa menjemput dan kami pulang bersama karena rumah kami bersebelahan. Seperti biasa, bocah itu memetikkan bunga anyelir setiap pulang dari TK. Di tengah perjalanan, aku menggunting-gunting kelopak bunga itu kecil-kecil dan menunjukkan bentuk uniknya.
"Yang ini kayak awan, kan?" kataku dan dia menggelengkan kepalanya.
"Itu kayak perut Bobi yang gendut," jawabnya sambil menyebutkan salah satu teman kami. Bocah laki-laki itu kemudian merebut bunga anyelir dan gunting dari tanganku.
"Nah, kalo yang ini kayak gajah," pamernya sambil menunjukkan hasil guntingannya.
"Kamu kok pintel. Sekalang gantian aku," jawabku mengakui kemampuannya.

Tak terasa, saat itu kami sudah sampai di pinggir jalan besar, jalan dimana aku berdiri saat ini.
"Ayo nyeberang," ajak bocah laki-laki itu sambil menyenggol lenganku. Aku mendengar perkataannya sambil menggunting kelopak bunga anyelir. Aku mengerahkan konsentrasiku ke kelopak bunga dan enggan kalah dari kemampuan bocah laki-laki itu. Sambil menggunting, aku melangkahkan kakiku ke depan, menyeberang jalan yang ramai, tanpa melihat kanan dan kiri. Dengan masih sibuk dengan kelopak bunga, aku mendengar suara keras sekali, seperti suara klakson. Sebelum aku menengok ke kanan atau kiri, aku sudah terjatuh ke pinggir jalan. Lututku perih, berdarah, dan aku menangis. Tetapi, orang-orang bukannya menenangkanku, mereka justru mengerumun di tengah jalan. Sebagai gadis cilik berumur lima tahun, saat itu aku kebingungan. Kemudian, seseorang membawaku ke rumah sakit. Orang tuaku menjemputku dan memelukku sambil menangis di rumah sakit. Saat itu, aku tidak mengerti apa-apa. Besoknya, orang tuaku memutuskan untuk pindah ke Jogja, begitu pula dengan aku.

Di Jogja, aku berkali-kali menanyakan keberadaan bocah laki-laki yang pandai menggunting itu ke orang tuaku. Beberapa kali orang tuaku mengalihkan pembicaraan dan enggan menjawab pertanyaan. Tetapi, sepertinya mereka kasihan melihat kebingunganku. Akhirnya, di usia lima tahun, aku berusaha mencerna penjelasan mereka.

Aku meremas pegangan ransel mengingat kejadian itu. Tempat dimana aku berdiri sekarang adalah tempat dimana bocah laki-laki itu meninggal. Saat aku menyeberang tanpa melihat ke kanan dan kiri, ternyata bocah laki-laki itu sudah sampai di seberang jalan. Seharusnya ia sudah aman. Tetapi, karena kebodohanku, aku hampir tertabrak sebuah bus wisata. Bocah laki-laki itu dengan polos mendorongku ke seberang jalan dan sebagai gantinya, ia yang tertabrak bus. Nyawanya melayang menggantikan nyawaku. Saat berusia lima tahun, orang tuaku menjelaskan bahwa bocah laki-laki itu dijemput malaikat. Saat itu, aku merasa sedih dan juga lega, karena pemahamanku saat itu mengatakan bahwa malaikat adalah makhluk baik. Tetapi, makin dewasa, aku makin mengerti bahwa bocah laki-laki itu meninggal karena aku.

Selama 16 tahun, aku tidak pernah menyatakan permohonan maafku secara resmi kepada orang tua bocah laki-laki itu. Atas namaku, orang tuaku sudah meminta maaf kepada mereka. Namun, aku tidak berani dan terlalu pengecut untuk bertemu mereka. Hanya saja, setiap tahun aku berkunjung ke Semarang. Aku mengenang memori itu, mengunjungi tempat yang pernah kudatangi bersama bocah laki-laki itu, membeli beberapa tangkai bunga anyelir putih, dan menaruh bunga tersebut di teras rumah bocah itu. Aku berharap bunga anyelir putih tersebut dapat menyampaikan permohonan maafku secara implisit.

Saat ini aku berdiri di depan rumah bocah laki-laki itu. Sepertinya, rumahnya sedang kosong. Dengan mengendap-endap, aku menaruh beberapa tangkai bunga anyelir itu di teras rumahnya. Aku memandang bunga-bunga itu sambil menerawang. Kemudian, dengan pelan aku menuruni anak tangganya dan memutuskan untuk bergegas pulang.

"Amanda!!"
Seorang wanita memanggil namaku. Aku menolehkan kepala dan melihat seorang wanita paruh baya membuka pintu rumah. Wajahnya sudah menunjukkan tanda-tanda penuaan, matanya terlihat lemah, tetapi kecantikannya tetap terlihat. Itu ibu bocah laki-laki itu. Wajahku memucat.

Sekilas, ibu itu melihat bunga anyelir di terasnya lalu menghampiriku.
"Kamu benar Amanda," ucapnya pasti sambil tersenyum. Aku menganggukkan kepala canggung.
Ibu itu merengkuh kedua tanganku.
"Kamu tidak perlu melakukan ini setiap tahun, Nak. Belasan tahun ini kami sudah rela dengan kepergian Adit," katanya sambil melihat bunga anyelir putih yang kutaruh di teras rumah.
"Bagaimana Ibu tahu?"
Ibu itu hanya tersenyum tidak menjawab pertanyaanku.
"Maafkan saya, Bu," ucapku sambil tidak bisa membendung air mata yang menetes.
"Ini semua sudah takdir, Nak. Tidak ada yang patut disalahkan, terlebih lagi saat itu kalian masih berumur lima tahun. Kehidupan dan kematian datang kapan saja," jawabnya bijak. "Sekali lagi, Nak, sudah cukup kamu menaruh bunga anyelir di teras kami. Seharusnya, kamu mengunjungi makam Adit dan mendoakannya," tambahnya sambil memelukku dan memberi tahu dimana Adit dimakamkan.

Adit dimakamkan di pemakaman dekat dari TK. Aku berjongkok di samping makamnya sambil menundukkan kepala berdoa. Aku menangis, tetapi langsung kuhapus setiap air mata yang mengalir. Tidak patut rasanya aku membawa kesedihan bertubi-tubi selama belasan tahun lamanya. Kutaruh bunga anyelir putih di atas makam Adit.
"Maaf aku baru bisa datang, Dit. Terima kasih atas semuanya."
Tidak banyak kata yang bisa kuucapkan karena aku yakin Adit pasti sudah tahu apa yang aku rasakan. Angin sepoi-sepoi menghangatkan pipiku, seakan menjadi sapaan dari Adit bahwa ia sudah bahagia di sana.

_OP_