Rabu, 13 Agustus 2014

Jalan-Jalan dan Wisata Kuliner di Malang

Liburan semester lalu sudah dihabiskan di Bali. Target liburan semester kali ini adalah Malang. Actually, tujuan awal ke Malang adalah backpacking. Tapi, godaan di sana terlalu banyak dan hasilnya adalah culinary travelling.

Hari Pertama

Kami pesan tiket untuk ke Malang cukup mendadak, yaitu seminggu sebelum keberangkatan. Hasilnya, tiket ekonomi habis dan harga untuk bisnis atau eksekutif pun relatif mahal. Kami dapat tiket berangkat, Yogyakarta ke Malang menggunakan eksekutif Malioboro Ekspres seharga Rp 250.000,00. Untuk pulangnya, Malang ke Yogyakarta menggunakan bisnis Malabar seharga sama, yaitu Rp 250.000,00. Tapi ya sudahlah. Karena beberapa keperluan, apa boleh buat.


Dari Yogyakarta, kami berangkat menuju Malang dengan Malioboro Ekspres pukul 20.15 dan sampai Malang pukul 03.50. Kami solat subuh dulu di Stasiun Malang. Lalu sekitar pukul 05.30 kami berjalan menelusuri Jalan Trunojoyo sampai pasar Klojen (keluar stasiun belok kanan). Sayangnya, pasar masih tutup huhu, padahal kami mau cari sarapan. Akhirnya kami kembali ke stasiun dan menemukan penjual soto di depan stasiun. Setelah cukup kenyang sarapan, kami berjalan menuju alun-alun yang berada tepat lurus di depan stasiun. Alun-alunnya baguuus.
Alun-alun Malang
Next, kami jalan kaki (lagi) menuju Hotel Margosuko yang ada di Jalan KH. Ahmad Dahlan. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, kami berniat untuk backpacking, oleh karenanya kami memilih hotel melati di tengah kota. Tapi, tampaknya kami sedang tidak beruntung. Kamar dengan kelas standar I & II yang seharga Rp 100.000,00 an sudah habis semua. Alhasil, kami terpaksa mengambil kelas superior seharga Rp 250.000,00 (double bed, kamar mandi dalam, TV, breakfast, air mineral setiap hari, dan AC).

Setelah mandi dan beristirahat, pukul 10.00 kami memutuskan untuk keliling Malang. Awalnya kami ingin merental motor, tapi karena weekend, motor yang direntalkan sudah habis. Akhirnya kami memutuskan untuk berjalan kaki. Kami menelusuri Jalan Agus Salim dan menemukan penjual bakso di pinggir jalan depan Gajah Mada Plaza. Karena bau bakso yang menggoda, akhirnya kami membeli bakso tersebut. Sayangnya, rasa bakso tidak seenak baunya. Padahal harga bakso cukup mahal, semangkuknya sekitar Rp 15.000,00.

Lalu kami melanjutkan perjalanan lagi melewati alun-alun Malang kedua di Jalan Merdeka. Tempatnya sangat rindang, sejuk, dan enak untuk duduk menikmati kota Malang. Kami melanjutkan perjalanan lagi hingga Jalan Basuki Rahmat dan mampir di Toko OEN. Mampir di Toko OEN seperti sedang berada di luar negeri karena mostly pengunjungnya adalah bule. Jadi harap maklum kalau harga makanan dan minuman di sini relatif mahal.
OEN Special (Rp 40.000,00)
Setelah menikmati es krim OEN, kami melanjutkan perjalanan menelusuri Jalan Kahuripan ke barat dan menemukan Lai-Lai Market Buah di Jalan Arjuno No 36. Saya sangat bahagia di sini karena bisa menemukan berbagai macam jajanan pasar Malang (yang tidak dapat ditemukan di Jogja), buah-buahan dan sayur-sayuran dalam negeri atau impor yang segar-segar, dan barang-barang impor yang cukup sulit ditemukan di Jogja. Kami langsung memborong beberapa jajanan pasar dan makanan lainnya.

Setelah cukup "cuci mata" di Lai-Lai, kami lanjut berjalan kaki ke Stadion Gajayana. Di sini kami beristirahat sejenak memakan makanan yang kami beli di Lai-Lai. Kami lanjut berjalan kaki lagi menuju Olympic Garden Mal yang ada di Jalan Kawi. Setelah itu, kami benar-benar lelah dan memutuskan untuk pulang. Kami berjalan kaki lagi menuju hotel. Entah sudah berapa kilometer jarak yang sudah kami tempuh dengan berjalan kaki.

Hari Kedua
Di hari kedua ini, kami sangat bersemangat karena kami akan menuju Batu. Hal yang saya sukai di Malang adalah angkot di Malang atau Batu cukup lengkap dan banyak, sehingga kita tidak perlu bingung soal transportasi. Untuk informasi angkot di Malang saya biasa akses di www.malang-guidance.com/jalur-dan-rute-angkutan-mikrolet-di-kota-malang/ . Kemudian untuk informasi angkot di Batu saya biasa akses di www.ngalam.web.id/read/2889/angkutan-kota-angkot-di-kota-batu/ . So far, info yang kami dapat cukup lengkap. Tapi, kalau anda menemukan sumber lain yang lebih terpercaya, silahkan.


Pertama, pukul 08.30 kami menuju ke Jatim Park 2. Dari hotel, kami berjalan kaki sedikit ke Jalan Hasyim Ashari dan mengambil angkot LG atau LDG (yang jelas angkot menuju terminal Landungsari). Ongkosnya Rp 3.500,00-Rp 4.000,00 perorang. Dari Landungsari, kami mengambil angkot BJL warna kuning. Angkot ini akan menurunkan kita persis di depan Jatim Park 2. Ongkosnya Rp 4.500,00-Rp 5.000,00 perorang. Untuk tiket Jatim Park 2, terdapat harga khusus, tergantung tujuan dan hari apa kita berkunjung. Karena kami berkunjung di hari Minggu dan memilih paket Batu Secret Zoo (kebun binatang) dan Museum Satwa (diorama satwa yang diawetkan), kami dikenakan harga tiket masuk Rp 100.000,00 perorang. Jika memilih ditambah dengan Eco Green Park (wisata ekologi), harga menjadi Rp 120.000,00 perorang. Kami mengunjungi Batu Secret Zoo terlebih dahulu. Jujur, so far Batu Secret Zoo adalah kebun binatang yang binatangnya sangat banyak dan sangat lengkap. Saya beberapa kali ngobrol dengan petugas kebun binatang dan kabarnya ada marmoset yang dibeli seharga 500 juta. Saya lihat, perawatan binatang-binatang ini juga cukup baik. Bahkan, sebagian besar makanan binatang ini diimpor dari luar agar binatang tersebut tetap sehat. Semoga saja ke depannya, perawatan binatang-binatang ini dilakukan sebaik mungkin. Selain itu, di dalam Batu Secret Zoo juga banyak wahana bermain.
So cute! Saya elus-elus terus dia, bahkan saya menempelkan dagu saya di kepalanya.
Saya sempat lupa bahwa dia adalah seekor harimau :p
Mengelilingi Batu Secret Zoo sejak pukul 10.00 hingga 14.00 membuat perut kami lapar. Kami makan di salah satu tempat makan yang menyajikan nasi kebuli. Karena saking pinginnya, saya menghabiskan Rp 30.000,00 untuk sepiring nasi kebuli+daging kambing. Walaupun mahal, nasi kebuli ini cukup enak dan porsinya juga banyak. Selanjutnya, kami memasuki Museum Satwa. Di museum ini saya sebenarnya sedikit bosan. Mungkin karena hanya melihat hewan-hewan yang diawetkan dan saya sudah melihat hewan aslinya di Batu Secret Zoo. Tapi, saya tetap acungi jempol untuk diorama-diorama yang disajikan.
Bangunan Museum Satwa yang mengingatkan saya dengan gedung MK
Setelah puas keliling-keliling Jatim Park 2, kami memutuskan untuk kembali ke Malang. Kami naik angkot BJL kuning untuk kembali ke Landungsari. Kemudian, kami mengambil angkot AL, menuju ke Pasar Klojen. Di pasar ini, kami membeli snack Malang yang enak, yaitu serabi, ketan, dan pethola yang disiram dengan santan manis. Snack ini seharga Rp 6.000,00 saja perporsi.
Ini enak :)
Setelah "ngemil", kami berjalan menelusuri Jalan Panglima Sudirman (menelusuri perumahan PT KAI) lalu menuju ke stasiun. Di depan stasiun, kami menemukan warung bakso (yang katanya enak), bernama warung bakso Pak Dulmanan (keluar stasiun belok kiri). Menurut saya, bakso ini cukup enak. Setelah kenyang, kami akhirnya kembali ke hotel.
Harga bakso di warung Pak Dulmanan

Hari Ketiga
Seharusnya hari ini kami langsung ke stasiun untuk pulang ke Jogja karena kereta yang akan kami naiki berangkat pukul 14.30. Tapi, kami memaksakan diri untuk ke Selecta. Pagi-pagi pukul 08.30 kami berangkat menuju Landungsari dengan angkot LG atau LDG. Kemudian, dari Landungsari kami mengambil angkot BL warna ungu muda yang langsung mengantarkan kami ke terminal Batu. Dari terminal Batu, kami mengambil angkot BSS warna oranye yang mengantarkan kami ke Selecta. Tiket masuk ke Selecta sebesar Rp 20.000,00. Saya sebagai pecinta keindahan sangat senang bisa mengunjungi Selecta. Di sini kami disuguhkan pemandangan bunga-bunga dengan hawa sejuk khas Batu.
Selecta
Di Selecta juga terdapat banyak wahana permainan, termasuk wahana permainan air
Setelah puas keliling Selecta, kami memutuskan untuk pulang dengan mengambil angkot yang sama. Namun, di tengah perjalanan menuju ke Malang, jalanan macet total. Ternyata hari itu (11 Agustus) adalah hari ulang tahun Arema, klub sepak bola kebanggaan Malang. Pada saat itu jam sudah menunjukkan pukul 12.00, sedangkan kereta yang akan mengantarkan kami pulang ke Jogja akan berangkat pukul 14.30. Si supir angkot meramalkan bahwa macet akan terjadi berjam-jam. Akhirnya, dengan penuh simpati pak supir, kami diturunkan di pos ojek terdekat. Awalnya, tukang ojek di situ enggan mengantarkan kami karena macet yang luar biasa. Namun, berkat bujukan supir angkot yang baik hati, akhirnya pak ojek mau mengantarkan kami (Rp 20.000,00 permotor).

Sesampainya di Stasiun Malang (pukul 13.00), jalanan depan stasiun sangat ramai dengan fans Arema. Mereka memadati jalan dengan spanduk dan kendaraan yang sudah dipasangi alat musik. Mereka menabuh dan menyanyikan lagu-lagu penyemangat Arema. Jujur, baru kali ini saya melihat euforia fans sepak bola secara langsung di depan mata saya.

Fans Arema yang memadati jalan dan membuat jalanan macet
Sebelum masuk stasiun, kami makan siang terlebih dahulu di tempat makan di depan stasiun. Saya lupa nama tempat makan ini, yang jelas masakannya cukup enak dan menjual berbagai macam makanan, seperti soto, ayam goreng, mie ayam, dan sebagainya.
Daftar menu tempat makan di depan stasiun (keluar stasiun belok kanan)
Setelah kenyang, kami akhirnya memasuki stasiun dan melanjutkan perjalanan ke Jogja. Walaupun tujuan awal kami (backpacking) tidak tercapai, namun kami cukup puas dengan mencoba berbagai macam kuliner di Malang. Udara yang sejuk dan orang Malang yang rendah hati juga membuat kami ingin kembali lagi ke Malang. Sepertinya Malang cocok digunakan sebagai kota untuk menghabiskan masa tua (walaupun sekarang saya masih sangat muda) :-)

Senin, 21 Juli 2014

Tips Semi - Backpacking Murah ke Bali (Bagi Pemula)

Bali adalah salah satu destinasi bagi wisatawan domestik atau mancanegara, betul? UAS berlalu dan liburan datang. Sebelum menyambut semester 4, bolehlah jalan-jalan ke Bali dulu. Niatnya sih mau backpacking ke sana, tapi karena baru pertama kali backpacking, alhasil jadinya semi-backpacking.

Hari Pertama
Dari Yogyakarta, kami naik kereta ekonomi Sri Tanjung dari Stasiun Lempuyangan menuju ke Stasiun Surabaya Gubeng Lama. Harga tiket Sri Tanjung Rp 55.000,00/orang dewasa saja. Sebenarnya, kami bisa saja meneruskan perjalanan menuju Banyuwangi menggunakan Sri Tanjung, tapi kami ingin jalan-jalan dulu di Surabaya. Mumpung mampir hehehe. Kami berangkat pukul 07.45 dan sampai di Surabaya sekitar pukul 15.45. Kami solat terlebih dahulu di stasiun. Perjalanan yang ditempuh selama 8 jam membuat perut kami lapar. Akhirnya kami singgah di Warung Sederhana Gubeng Pojok. Warung ini terletak tepat di sebelah selatan stasiun, jadi masih sekomplek dengan stasiun. Kalau bingung bisa tanya penduduk setempat karena warung ini cukup terkenal dengan kulinernya. Harga makanannya relatif terjangkau. Harga makanan, seperti soto, rawon, krengsengan (semacam oseng-oseng hati ayam), dll sekitar Rp 10.000,00/porsi. Harga minuman, seperti es teh, es jeruk, dll sekitar Rp 2.000,00.
(Angsle)
(Krengsengan)
Sambil menunggu kereta Mutiara Timur yang akan mengantar kami menuju Banyuwangi, kami jalan-jalan di kota Surabaya. Tidak jauh-jauh, kami berjalan sekitar 10 menit menuju Plaza Surabaya, mal yang cukup ramai di Surabaya. Menuju Plaza Surabaya, kita juga melewati delta yang terkenal dengan museum kapal selam di sebelahnya. Di Plaza Surabaya, kami membeli beberapa roti dan buah-buahan untuk sarapan keesokan harinya dan mencoba kuliner Surabaya lain, yaitu angsle. Angsle adalah minuman khas (mirip ronde) yang terdiri atas roti tawar, kacang merah, tape, kuahnya semacam santan. Kalau ke Jawa Timur, memang wajib hukumnya mencoba angsle. Harga angsle umumnya juga murah, sekitar Rp 5.000,00/porsi.
(Delta-Difoto dari jembatan)
Karena maghrib menjelang, kami solat dulu di masjid Gubeng (dekat stasiun Surabaya Gubeng Baru). Setelah itu, kami mencari makan malam. Kami menemukan pedagang kaki lima yang menjual ayam goreng, bebek goreng, lele goreng di seberang masjid gubeng. Nasi yang banyak dan bebek goreng yang lezat dengan harga yang relatif terjangkau (Rp8.000,00-Rp13.000,00/porsi) membuat kami puas. Fyi, dari stasiun hingga jalan-jalan ke Plaza Surabaya, dan kembali lagi ke stasiun kami tempuh dengan berjalan kaki. Jarak antara tempat-tempat ini memang relatif dekat. Tapi, saya sarankan hati-hati ketika menyeberang jalan di depan Stasiun Gubeng karena jalanan sangat ramai dan kami agak bingung dengan traffic lightnya.

Akhirnya, pukul 22.00 kami berangkat menuju Banyuwangi dari Stasiun Surabaya Gubeng Baru menggunakan kereta bisnis Mutiara Timur Malam. Harga tiket kereta bisnis Mutiara Timur Malam Rp 110.000,00/orang dewasa. Saya sarankan, jika berangkat langsung dari Surabaya, lebih baik beli tiket langsung Surabaya-Denpasar, karena sebenarnya PT KAI menyediakan bus Damri dari Banyuwangi ke Denpasar. Tapi, karena saya pesan tiketnya di Yogyakarta, akhirnya kami hanya membeli tiket Surabaya-Banyuwangi. Lebih hemat lagi kalau anda bisa kuat naik Sri Tanjung dari Yogyakarta langsung ke Banyuwangi.

Hari Kedua
Kereta Mutiara Timur Malam mengantarkan kami ke Stasiun Banyuwangi sekitar pukul 04.30. Begitu keluar stasiun, kami disambut oleh calo yang menawarkan tiket bis menuju Denpasar dengan harga lumayan mahal. Jika pandai menawar, harga bis Rp 50.000,00/orang pun bisa didapat. Tetapi, karena kami sudah lelah, maka ketika calo menawarkan harga bis Rp 70.000,00/orang pun akhirnya terpaksa kami terima. Dari Stasiun Banyuwangi menuju ke pelabuhan kami tempuh menggunakan becak seharga Rp 10.000,00. Sebenarnya kalau jalan kaki pun bisa karena jarak dari stasiun ke Pelabuhan Ketapang cukup dekat. Kami terpaksa naik becak karena takut ketinggalan kapal karena kami juga belum solat subuh.


Sesampainya di pelabuhan, kami langsung membeli tiket kapal seharga Rp 7.500,00/orang dan cepat-cepat menuju musolla untuk solat subuh. Setelah solat, kami berlari-lari menuju kapal karena kata calo yang bersangkutan, kapal yang akan kami naiki segera berangkat. Di atas kapal, kami menikmati angin laut pagi dan matahari terbit. Sayangnya, matahari tampak malu-malu menampakkan sinarnya karena langit pada pagi itu sedikit berawan. Saya sarankan ketika di kapal, berkumpullah dengan banyak orang karena beberapa kali saya mendengar kasus pencopetan atau ancaman dilakukan di atas kapal. Percaya dirilah dan jangan terlihat gugup.
(Selat Bali)
Kami turun dari kapal menggunakan bis yang tadi kami bayar melalui calo. Jangan lupa siapkan KTP begitu keluar pelabuhan karena setiap orang yang memasuki tanah Bali selalu dicek tanda pengenalnya. Menurut saya ini dampak traumatik dari insiden bom Bali. Perjalanan dari Pelabuhan Gilimanuk menuju Terminal Ubung cukup jauh. Oya, saya sarankan sebelum memilih bis yang akan dinaiki, bertanyalah terlebih dahulu apakah bis tersebut berhenti di Ubung atau tidak. Akan lebih baik jika bis tersebut langsung mengantar ke Denpasar, tapi biasanya hal ini jarang terjadi. Di sepanjang perjalanan, kita disuguhkan dengan pemandangan Bali yang khas, yaitu rumah-rumah dengan tempat peribadatan di depannya. Hal ini jarang sekali kita temukan di Pulau Jawa.

Begitu sampai di Ubung, saya sarankan mengambil angkot menuju ke Tegal. Kemudian dari Tegal, ambil angkot menuju ke Kute. Tetapi, ketika kami sampai di Ubung, hal ini sulit kami wujudkan karena kami sulit mendapat angkot menuju ke Tegal. Mungkin kami kurang beruntung. Akhirnya, ada angkot kosong yang kebetulan supirnya adalah mantan tour guide. Kami diantarkan oleh supir angkot tersebut langsung menuju Kute di daerah Monumen Bom Bali dengan biaya Rp 70.000,00, harga yang lumayan mahal.

Sesampainya di Monumen Bom Bali sekitar pukul 14.00, kami dengan mudah menemukan Jalan Poppies Lane II (tepat di depan Monumen Bom Bali). Kami langsung memasuki gang tersebut dan dengan mudah menemukan Losmen Arthawan di kiri jalan. Fyi, losmen ini adalah penginapan yang sering direkomendasikan oleh para backpacker. Dengan harga Rp 100.000,00/malam, kami bisa mendapatkan satu kamar double bed dengan kamar mandi dalam, fan, dan sarapan (pilih antara pancake atau roti). Di Arthawan juga disediakan rental motor Rp 50.000,00/24 jam. Tetapi ingat, begitu rental motor, harus cepat-cepat diisi bensinnya karena motor tersebut direntalkan dengan bensin hampir kosong. Rental motor juga sudah termasuk 2 helm. Saya anjurkan juga bawa mantol dari rumah, jaga-jaga kalau di rental motor tidak disediakan jas hujan.

Setelah istirahat beberapa jam, sore harinya kami berjalan-jalan ke Pantai Kuta. Jarak tempuh dari Arthawan hingga ke Kuta hanya sekitar 5 menit berjalan kaki. Sepanjang jalan kita juga disuguhi dengan berbagai macam oleh-oleh yang dijual oleh masyarakat lokal Bali. Kami juga mampir ke Beachwalk Mall yang terletak di seberang Pantai Kuta persis. Mal ini saya rekomendasikan karena memiliki view yang bagus. Tetapi, jika anda berniat backpacking, saya tidak menyarankan anda untuk berbelanja di sini karena harga barang-barangnya cukup mahal. Untuk makan, saya sarankan untuk membeli masakan padang yang cenderung murah. Masakan padang dapat ditemukan di sepanjang Jalan Raya Kuta. Bagi anda yang beragama Islam, menemukan makanan halal dan murah di sekitar Jalan Legian akan cukup sulit.

Hari Ketiga
Pagi-pagi kami sudah merental motor, langsung mengisi bensin, dan langsung meluncur ke Tanah Lot. Tarif masuk ke Tanah Lot adalah Rp 10.000,00/orang. Sayangnya, kami ke Bali bersamaan dengan Hari Raya Imlek, sehingga Tanah Lot dipenuhi turis-turis asing. Ketika kami ke sini, sedang ada ibadah yang dilakukan oleh masyarakat setempat, sehingga kami turut merasakan kekhusyukan ibadah mereka. Tanah Lot akan lebih indah lagi, jika anda mengunjunginya di saat pengunjungnya tidak terlalu padat. Selain itu, saya anjurkan jangan makan siang di kompleks Tanah Lot karena harga makanannya cukup mahal. Kami membeli soto daging dengan harga Rp 30.000,00/porsi di kompleks Tanah Lot tersebut. Kapok..
(Their Beliefs)
Dari Tanah Lot, kami keliling mencari oleh-oleh. Kami sempat nyasar untuk menemukan alamat pie susu Dhian (lokasinya bisa cari di Google). Saran saya, sebelum membeli, pesan pie susunya terlebih dulu. Karena kalau langsung membeli, biasanya stok pie susunya sudah habis. Kami juga sempat ke Krisna dan Joger untuk membeli oleh-oleh untuk teman dan keluarga. Sebenarnya kalau mau benar-benar backpacking, saya anjurkan tidak usah membeli oleh-oleh. Oleh-oleh Bali memang cukup mahal dan cukup menguras kantong.

Hari Keempat
Kali ini kami juga berangkat pagi-pagi dengan rental motor. Tujuan pertama kami adalah Tanjung Benoa. Untuk menuju ke Tanjung Benoa bisa ditempuh melalui Jalan Sunset Road. Untuk yang benar-benar backpacking, saya tidak menganjurkan untuk pergi ke Tanjung Benoa karena hiburan di Tanjung Benoa cukup mahal, seperti banana boat, dan sejenisnya. Tetapi, kalau waktunya masih sisa tidak ada salahnya jalan-jalan ke Tanjung Benoa karena sepanjang perjalanan kita disuguhi dengan pemandangan hutan bakaunya dan villa di kanan dan kiri jalan. Di sini kami juga menemukan fakta unik bahwa sebenarnya tukang parkir di Bali tidak sebanyak tukang parkir di Jogja. Sesampainya di Tanjung Benoa kami kebingungan mencari tempat parkir dan seorang ibu-ibu penjual kelapa muda menyuruh kami untuk memarkir motor di bawah pohon kelapa. Kami sempat takut karena tidak ada tukang parkir yang menjaga. Tetapi, ternyata parkir motor di Bali tanpa tukang parkir aman-aman saja. Bahkan, kami sempat melihat mobil kosong dengan kaca mobilnya yang terbuka dibiarkan saja. Oya, setau saya, seluruh pantai di Bali free, alias tidak ada tiket masuk, termasuk di Tanjung Benoa. Para backpacker yang cinta pantai bisa bebas keluar masuk pantai manapun di Bali.
(Janur pernikahan di Bali)
(Salah satu permainan di Tanjung Benoa)
Next, kami menuju ke Uluwatu.Tempat ini salah satu favorit kami karena pemandangannya yang benar-benar menakjubkan. Kita bisa melihat deburan ombak yang mengenai tebing dan pura-pura yang berdiri kokoh dengan uniknya. Monyet-monyet yang berada di Uluwatu juga memberikan atraksi menarik, seperti rebutan pisang atau berenang di kolam sambil bergelantungan dari pohon satu ke pohon lain. Tetapi, kita harus tetap hati-hati karena kalau kita menaruh kamera atau topi atau barang ringan lainnya sembarangan, monyet-monyet ini akan dengan jahil mengambil barang kita. Untuk berjaga-jaga, lebih baik membawa kayu atau ranting panjang untuk mengusir monyet yang berniat jahil kepada kita. Tarif masuk Uluwatu adalah Rp 15.000,00/orang. Saran saya, ketika ditawari untuk membeli pisang yang dipotong-potong, lebih baik ditolak dengan halus. Selain membayar lebih mahal untuk pisang tersebut, di dalam Uluwatu, para monyetpun sepertinya sudah kenyang dan tidak begitu berminat memakan pisang yang kita bawa. Saya anjurkan untuk membeli kelapa muda di kompleks Uluwatu karena pengalaman saya ketika membeli kelapa muda di situ tidak mengecewakan.
(Indahnya Uluwatu)
(Salah satu keunikan di Uluwatu)
Sorenya, kami menempuh perjalanan ke Kute dengan melewati Jimbaran dan GWK. Kami memutuskan untuk kembali ke Kute. Di Pantai Kute, kami melihat sunset dan berjalan-jalan keliling Kute sampai kami bosan. Jangan lupa juga untuk berfoto di depan Monumen Bom Bali untuk merasakan bagaimana rasanya benar-benar menjadi turis.
(Sunset di Pantai Kute)

Hari Kelima
Hari terakhir di Bali, kami berkemas pulang. Untuk kembali ke Jogja, kami memutuskan untuk naik pesawat. Jarak dari Arthawan ke Bandara Ngurah Rai cukup dekat. Pesawat kami take off pukul 08.00, sehingga pukul 06.30 kami sudah keluar hotel. Untuk menuju ke bandara, kami memilih naik taksi dengan mengeluarkan ongkos Rp 40.000,00 (sudah termasuk karcis taksi memasuki area bandara). Sebelum check in, kami membeli sarapan di Bangi Kopitiam (teh tariknya recommended). Akhirnya, kami pulang menuju Jogja. Sesampainya di Bandara Adi Sucipto, kami langsung menuju ke Stasiun Maguwoharjo yang jaraknya hanya beberapa meter dari bandara. Kami naik Prameks menuju Stasiun Lempuyangan dengan tiket Rp 8.000,00/orang dewasa.

(Teh tariknya nyaman)
Begitulah semi-backpacking kami. Over all, saya lebih suka liburan dengan cara seperti ini dari pada memakai travel agent. Selain menghemat uang, kita juga bisa lebih merasakan sense dari liburan tersebut. Tanpa oleh-oleh, liburan semi-backpacking ke Bali mungkin menghabiskan sekitar Rp 1.000.000,00-Rp 1.500.000,00/orang dewasa. Bisa lebih menghemat lagi kalau tidak perlu mampir Surabaya dan PP naik kereta-kapal-bis, tetapi tentu sangat melelahkan. Sebagai semi-backpackers pemula, saya anjurkan untuk membawa barang-barang penting, seperti KTP (harus ada di dompet setiap saat ya), peta (dan kalau bisa alat elektronik yang memiliki fasilitas gps di dalamnya), tisu basah & kering, mantol, masker & kaca mata hitam (untuk perjalanan menggunakan motor), P3K (obat tetes mata cukup penting), kaos kaki (bagi perempuan yang tidak ingin kakinya belang), sepatu yang nyaman di kaki, kamera untuk mengabadikan momen-momen menarik, selimut (untuk alas tidur bagi yang kulitnya sensitif), dan barang-barang pribadi lain yang dibutuhkan (seperti pakaian, dsb). Gunakanlah tas ransel agar nyaman dibawa kemana-mana dan tas kecil untuk menyimpan barang-barang penting, seperti dompet dan handphone. Pasanglah ekspresi wajah dan bahasa tubuh sepercaya diri mungkin, seakan-akan anda adalah orang asli Bali agar tidak mudah ditipu. Selain itu, pakai pakaian sederhana dan aksesoris seminimal mungkin agar tidak menarik perhatian orang yang tidak bertanggung jawab. Liburan tidak perlu mahal kok, tinggal bagaimana kita pandai-pandai mengelola uangnya. Selamat liburan! :-)

Kedai Pancake

this picture taken from : www.bbcgoodfood.com


Aku duduk di depan meja kasir sambil mencatat pemasukan kedai bulan ini. Kedai pancake, kedai yang sudah aku rintis sejak dua tahun lalu ini memang menjadi berkah tersendiri. Tetapi, mencari uang bukan tujuan utamaku membangun kedai ini. Melalui kedai ini, aku ingin dikelilingi oleh orang-orang yang belum aku kenal. Melalui kedai ini, aku ingin memberikan tempat untuk orang-orang yang belum aku kenal itu untuk mengekspresikan dirinya, menjadi dirinya, dan menceritakan cerita kehidupannya. Perlu dicatat, aku bukan tipe orang yang ingin ikut campur urusan orang. Tetapi, dengan tanpa mengenal mereka, aku ingin menjadi bagian dari mereka. Entah, keinginan ini kadang tidak bisa diekspresikan melalui kata-kata.

Jika kalian ingin tahu, aku anak tunggal, tapi dididik secara keras untuk menjadi pribadi yang independen. Aku bukan anak orang kaya. Ayahku sudah meninggal lima tahun yang lalu dan ibuku seorang janda yang kadang-kadang menerima pesanan jahitan. Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa aku bisa membuka kedai pancake ini. Ayahku dulu bekerja di BUMN dan gajinya sangat cukup untuk menghidupi aku dan ibuku. Sejak kecil, aku diajari menabung. Sampai saat ayahku meninggal, aku pelan-pelan bangkit dan menggunakan tabunganku untuk membuka usaha ini.


Ketika aku berusia 12 tahun, ayahku bertanya tentang apa sebenarnya tujuan hidupku. Katanya, tujuan manusia hidup adalah ingin bahagia. Namun, indikator apa yang dapat menentukan kamu bahagia atau tidak? Uang? Ketenaran? Kebanggaan? Kemurahan hati? Pertanyaan ayahku belum terjawab hingga saat ini.

Aku sering mengamati orang-orang di sekitarku. Ketika aku melihat tukang bangunan˗˗yang bekerja dengan riang di bawah sinar matahari yang terik dan keringat yang bercucuran˗˗aku bertanya dalam hati, “tidakkah kamu sedih karena bekerja susah payah dan tidak mendapatkan upah yang besar? Tetapi, kenapa kamu mengerjakan pekerjaanmu dengan riang?”. Ketika aku melihat seorang PNS berwajah gelisah keluar dari kantornya˗˗dengan jam tangan berhiaskan emas atau berlian˗˗aku bertanya dalam hati, “tidakkah kamu senang karena bekerja di dalam kantor ber-AC dan sanggup membeli jam tangan sedemikian indah? Tetapi, kenapa wajahmu begitu gelisah?”. Hal-hal ini lah yang memotivasiku untuk membuka sebuah kedai makanan˗˗tempat untuk berkumpul orang-orang bersama mereka yang dikasihinya. Aku ingin menjadi bagian dari mereka. Apa yang membuat mereka sedih? Apa yang membuat mereka bahagia? Selama dua tahun aku membuka kedai ini, aku mengetahui banyak cerita.

Aku ingin menceritakan padamu satu cerita menarik dari sekian banyak cerita menarik lainnya. Tetapi, aku takkan memaksamu untuk membaca ceritaku sampai selesai. Toh, aku bukan sastrawan yang pandai merangkai kata-kata. Jadi, kalau ceritaku membosankan, aku tidak melarang kalian untuk berhenti membaca ceritaku.

Di suatu malam, sekitar pukul 22.00, seorang laki-laki dan perempuan memasuki kedaiku. Aku mengira-ngira mereka adalah sepasang sejoli. Seperti pelanggan pada umumnya, mereka memesan pancake dan minuman. Kebetulan pada saat itu, pelanggan yang lain dan pegawaiku sudah pulang. Di dalam kedai hanya ada kami bertiga˗˗aku dan sepasang sejoli tadi. Setelah mengantarkan pesanan mereka, aku duduk di depan kasir. Antara kasir dan tempat duduk pelanggan dibatasi oleh kaca besar yang sedikit buram, sehingga aku tidak begitu bisa memperhatikan pelanggan tersebut. Namun, ukuran ruangan kedaiku memang tidak begitu luas, sehingga percakapan dalam suasana sepi dapat didengar sampai penjuru ruangan.

Aku duduk di depan kasir sambil membaca majalah. Aku mendengar dentingan garpu dan piring. Mereka makan dalam sunyi. Namun, tiba-tiba terdengar suara isakan perempuan. Aku terkejut dan langsung melihat ke sepasang sejoli tersebut. Si laki-laki menyodorkan tisu di atas meja ke perempuan tersebut.

“Kamu nangispun nggak akan menyelesaikan masalah, Na,” ujar si laki-laki.

Perempuan itu lalu mengusap pipinya yang berlinang air mata menggunakan tisu. Aku sudah panik dan bersiap-siap menelpon pegawai atau polisi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Pikiranku sudah merajalela kemana-mana. Pikiran-pikiran negatif membuat hatiku tidak tenang.

“Aku harus nyari obat kemana lagi, Wan? Obat-obat yang kemarin sudah nggak mempan,” jawab perempuan itu sambil terisak.

Wow, tanganku sudah memegang erat handphone, bersiap-siap menelepon seseorang.

“Kita harus tetap mencari, Na. Tante sudah mau berusaha, jadi kamu juga harus berjuang untuk kesembuhan dia.”

Tante?

“Aku cuma ingin Ibu sembuh, hanya itu. Kanker Ibu sudah sampai stadium 4. Gimana aku bisa tenang? Aku nggak siap kehilangan Ibu, Wan.”

Oke, jadi ibunya si perempuan ini sakit kanker dan laki-laki di depannya berusaha menenangkan perempuan ini. Aku sedikit tenang, tapi tetap menajamkan telingaku. Aku tidak begitu hapal perbincangan mereka malam itu. Untuk beberapa menit, si perempuan menangis terus. Si laki-laki berusaha menenangkannya, tapi belum berhasil. Sampai akhirnya, si perempuan berhenti menangis juga. Dalam hati, aku sedih melihat perempuan itu. Kanker memang bukan penyakit yang main-main. Kanker bisa merenggut hidup siapapun dan kapanpun.

“Kamu ingat pohon jeruk di depan rumah yang terkena hama ulat itu?” tanya si laki-laki. Si perempuan mengangguk pelan.

Nggak ada makhluk hidup yang hidup abadi di dunia. Makhluk hidup pasti mati, sesuai jalan yang di Atas. Pohon jeruk yang kena hama ulat itu bisa aja langsung mati, tapi Allah nggak menakdirkan itu. Pohon jeruk itu diberi hama agar orang-orang di sekitarnya punya kesempatan untuk berusaha merawatnya sampai hama ulatnya hilang. Kalau hama ulatnya nggak hilang, pohon jeruk itu akan cepat mati. Tetapi, kalau hama ulatnya hilang, toh pohon jeruk itu juga tetap akan mati˗˗bedanya kita lebih optimis kalau pohon jeruk itu akan hidup lebih lama.”

“Memang terdengar kasar. Tetapi, aku percaya kalau Allah memberi jalan yang berbeda-beda bagi setiap orang untuk mati. Ada yang mati ketika tidur. Ada yang mati ketika kecelakaan. Dan maaf, ada juga yang mati karena sakit. Aku bukan mau mendoakan yang jelek-jelek kepada ibumu, Na. Tetapi, percayalah, dengan sakit ini, Allah ingin mendekatkan kamu dengan ibumu dan ibumu dengan orang-orang di sekitarnya.”

“Dengan sakit, kamu dan ibumu jadi punya waktu lebih banyak untuk bersama-sama. Ketika ibumu masih sehat, kamu mengutamakan kuliah dan kerja part time. Aku bukan ingin menyalahkan kamu lho, Na. Aku berusaha agar kamu melihat musibah ini dari kaca mata yang berbeda. Dengan sakit ini, kamu juga secara tidak sadar belajar untuk pelan-pelan merelakan karena kamu tahu konsekuensi terburuk adalah kehilangan ibumu. Kamu dan ibumu jadi lebih menghargai waktu. Kamu juga jadi lebih sering berdoa untuk ibumu, kan?”

“Coba bayangkan, kalau orang yang kamu sayangi meninggal di saat kamu belum siap. Contohnya ketika orang yang kamu sayangi meninggal di saat dia tidur. Mungkin kamu akan menyesal karena kamu belum menghabiskan waktumu dengan dia. Mungkin kamu akan menyesal karena kamu belum mengucapkan “maaf” atau “terima kasih” ke dia. Musibah ini memberi kamu dan ibumu quality time yang tidak terhingga, Na. Allah mengajarimu untuk melepaskan hal yang berharga untuk mendapatkan hal yang lebih berharga lagi, yaitu pengorbanan, kekuatan, dan keikhlasan. Allah sayang sama kamu dan ibumu, Na.”

Aku tercengang mendengar nasihat dari si laki-laki. Tanpa sadar, aku mencengkeram bibir meja sambil termangu melihat mereka. Si perempuan sedari tadi hanya menunduk, tidak berani menatap lawan bicaranya.

Si perempuan tersenyum sekilas, “kamu berbicara seakan-akan ibuku sudah positif akan meninggal, Wan.”

Nggak, maksudku bukan gitu, Na….”

Tetapi, si perempuan memotong kalimat laki-laki itu, “apa yang kamu bilang tadi benar, kok. Aku selalu melihat musibah ini dari sisi negatifnya. Aku terlalu takut karena Ibu satu-satunya orang yang aku percaya di dunia ini. Tetapi, mendengar ceritamu tadi, percayaku ke Allah jadi lebih besar. Aku percaya Allah merencanakan jalan terbaik.”

Lalu, laki-laki itu tersenyum puas.

“Tapi, aku bakal terus berusaha agar ibuku sembuh,” ucap si perempuan optimis.

“Pasti! Habis ini balik lagi ke rumah sakit? Aku yakin, ibumu pasti ingin lebih menghabiskan waktunya sama kamu.” Beberapa menit kemudian, mereka membayar pesanan mereka dan meninggalkan kedai.

Malam itu dan perkataan laki-laki itu membuat aku sedih. Hal tersebut mengingatkanku bahwa memoriku dengan almarhum ayah benar-benar sedikit. Ayahku meninggal secara tiba-tiba karena sakit jantung ketika ia bertugas di luar kota. Kepergian ayahku yang mendadak itu membuat kesedihanku dan Ibu menjadi-jadi. Seperti yang dikatakan laki-laki tadi, ditinggalkan secara mendadak oleh orang yang kita sayangi membuat kita tidak siap kehilangan.

Tetapi, aku justru semakin semangat menjalani hidup, terutama membangun usaha kedai pancake ini. Aku yakin, ayahku bangga kepadaku karena aku berusaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang diajukannya ketika usiaku 12 tahun, yaitu “apa indikator yang membuat seseorang bahagia?”. Ngomong-ngomong, apa yang membuat kamu bahagia? Saranku, berbagilah dengan orang-orang yang kamu sayangi dan rajutlah memori sebanyak-banyaknya dengan mereka. Tidak ada yang salah ketika seseorang mengatakan bahwa indikator kebahagiaannya adalah uang, atau ketenaran, atau kebanggaan, atau kemurahan hatinya pada orang lain. Tetapi, hal-hal tersebut tidak akan membuatmu 100% bahagia kalau kamu tidak memanfaatkan waktumu semaksimal mungkin bersama orang yang kamu sayangi. Tidak percaya? Lain kali cobalah dan ceritakan padaku bagaimana hasilnya. Bahagiakah kamu?

*the end.

_OP_

Kamis, 01 Mei 2014

Anyelir Putih

this picture taken from : cynthiathedreamer.blogspot.com


Perkenalkan namaku Amanda. Nama yang pasaran, bukan? Aku ingin menceritakan sedikit perjalananku hari ini kepada kalian. Mungkin bukan cerita yang menarik. Kalau kalian bosan, kalian bisa meninggalkan ceritaku dan berpindah ke cerita yang lain.

Ini tentang perjalananku ke sebuah kota, yaitu Semarang. Bagi sebagian besar dari kalian, Semarang adalah kota yang ruwet dan panas. Ketika hujan lebat turun, banjir segera melanda, terutama di daerah Semarang bawah. Aku setuju dengan hal itu. Tetapi, buatku Semarang lebih dari sekadar permasalahan-permasalahan tersebut. Semarang adalah tempat dimana aku dan seorang bocah laki-laki bertemu, 16 tahun yang lalu. Ketika itu, kami sama-sama berumur lima tahun dan sama-sama duduk di bangku TK. Kuingatkan kalian, ini bukan kisah cinta seperti di novel-novel remaja. Anggap saja, cerita ini hanya romantisme masa lalu yang melibatkan dua bocah TK yang nyaman satu sama lain dengan kepolosan mereka.

Di sini lah aku sekarang. Dengan membawa sebuah ransel di punggung, aku berdiri di depan bangunan TK masa kecilku dulu. Bangunannya masih seperti dulu, kuat dan kokoh. Warna bangunannya saja yang telah berganti menjadi warna pelangi. Aku membuka pintu kayu kecil dan memantapkan langkah kakiku memasuki lapangan mini TK tersebut. Kududuki sebuah ayunan sambil mengamati sekeliling. Tidak banyak yang berubah. Hanya beberapa permainan yang diperbarui untuk menjamin permainan tersebut tetap aman dipakai. Aku menyentuh permainan itu satu persatu, ayunan, jungkat jungkit, dan semuanya. Seakan-akan, aku merasakan energi memori dari permainan tersebut mengalir ke tubuhku. Taman kecil di sudut lapangan menarik perhatian. Aku memetik setangkai bunga anyelir berwarna putih. Aku melihat ke samping kanan dan kiri, memastikan tidak ada yang melihat perbuatanku itu. Senyumku mengembang.

Begitu aku meninggalkan TK, aku duduk di bangku pinggir sungai kecil dekat TK. Aku memandangi bunga anyelir itu. Dulu, seorang bocah laki-laki sering sekali memetik bunga itu diam-diam dan memberikannya padaku.
"Ssst, jangan bilang bu guru lho," katanya sambil memberikan bunga anyelir itu.
"Kamu kok nakal banget. Nanti kalo ketauan bu gulu kamu bisa dihukum lho," sahutku. Saat berumur lima tahun, aku masih belum bisa mengatakan huruf "r" dengan jelas.
Bocah laki-laki itu menyikut lenganku, "makanya jangan laporin ke bu guru." Lalu, dia pergi bermain dengan teman-teman laki-lakinya.

Entahlah, dulu kami masih sama-sama polos. Yang aku ingat, dulu aku menginginkan bunga anyelir itu, tetapi bu guru tidak pernah mengijinkan seorang pun memetik bunga. Lalu, bocah laki-laki itu nekat memetik bunga anyelir untuk menyenangkan aku. Aktivitas "ilegal" itu ia lakukan setiap kami berada di TK, walaupun akhirnya kecantikan bunga itu hilang karena aku iris kecil-kecil menggunakan penggaris, atau layu karena terlalu lama berada di dalam tas, atau bahkan hilang entah kemana. Sesederhana itu.

Aku melanjutkan perjalananku. Aku sampai di sebuah jalan yang cukup ramai dengan kendaraan yang mengebut. Suaranya bising dan sangat familiar di telingaku. Aku ingat suatu saat aku dan bocah laki-laki itu pulang bersama dari TK. Orang tua kami sedang tidak bisa menjemput dan kami pulang bersama karena rumah kami bersebelahan. Seperti biasa, bocah itu memetikkan bunga anyelir setiap pulang dari TK. Di tengah perjalanan, aku menggunting-gunting kelopak bunga itu kecil-kecil dan menunjukkan bentuk uniknya.
"Yang ini kayak awan, kan?" kataku dan dia menggelengkan kepalanya.
"Itu kayak perut Bobi yang gendut," jawabnya sambil menyebutkan salah satu teman kami. Bocah laki-laki itu kemudian merebut bunga anyelir dan gunting dari tanganku.
"Nah, kalo yang ini kayak gajah," pamernya sambil menunjukkan hasil guntingannya.
"Kamu kok pintel. Sekalang gantian aku," jawabku mengakui kemampuannya.

Tak terasa, saat itu kami sudah sampai di pinggir jalan besar, jalan dimana aku berdiri saat ini.
"Ayo nyeberang," ajak bocah laki-laki itu sambil menyenggol lenganku. Aku mendengar perkataannya sambil menggunting kelopak bunga anyelir. Aku mengerahkan konsentrasiku ke kelopak bunga dan enggan kalah dari kemampuan bocah laki-laki itu. Sambil menggunting, aku melangkahkan kakiku ke depan, menyeberang jalan yang ramai, tanpa melihat kanan dan kiri. Dengan masih sibuk dengan kelopak bunga, aku mendengar suara keras sekali, seperti suara klakson. Sebelum aku menengok ke kanan atau kiri, aku sudah terjatuh ke pinggir jalan. Lututku perih, berdarah, dan aku menangis. Tetapi, orang-orang bukannya menenangkanku, mereka justru mengerumun di tengah jalan. Sebagai gadis cilik berumur lima tahun, saat itu aku kebingungan. Kemudian, seseorang membawaku ke rumah sakit. Orang tuaku menjemputku dan memelukku sambil menangis di rumah sakit. Saat itu, aku tidak mengerti apa-apa. Besoknya, orang tuaku memutuskan untuk pindah ke Jogja, begitu pula dengan aku.

Di Jogja, aku berkali-kali menanyakan keberadaan bocah laki-laki yang pandai menggunting itu ke orang tuaku. Beberapa kali orang tuaku mengalihkan pembicaraan dan enggan menjawab pertanyaan. Tetapi, sepertinya mereka kasihan melihat kebingunganku. Akhirnya, di usia lima tahun, aku berusaha mencerna penjelasan mereka.

Aku meremas pegangan ransel mengingat kejadian itu. Tempat dimana aku berdiri sekarang adalah tempat dimana bocah laki-laki itu meninggal. Saat aku menyeberang tanpa melihat ke kanan dan kiri, ternyata bocah laki-laki itu sudah sampai di seberang jalan. Seharusnya ia sudah aman. Tetapi, karena kebodohanku, aku hampir tertabrak sebuah bus wisata. Bocah laki-laki itu dengan polos mendorongku ke seberang jalan dan sebagai gantinya, ia yang tertabrak bus. Nyawanya melayang menggantikan nyawaku. Saat berusia lima tahun, orang tuaku menjelaskan bahwa bocah laki-laki itu dijemput malaikat. Saat itu, aku merasa sedih dan juga lega, karena pemahamanku saat itu mengatakan bahwa malaikat adalah makhluk baik. Tetapi, makin dewasa, aku makin mengerti bahwa bocah laki-laki itu meninggal karena aku.

Selama 16 tahun, aku tidak pernah menyatakan permohonan maafku secara resmi kepada orang tua bocah laki-laki itu. Atas namaku, orang tuaku sudah meminta maaf kepada mereka. Namun, aku tidak berani dan terlalu pengecut untuk bertemu mereka. Hanya saja, setiap tahun aku berkunjung ke Semarang. Aku mengenang memori itu, mengunjungi tempat yang pernah kudatangi bersama bocah laki-laki itu, membeli beberapa tangkai bunga anyelir putih, dan menaruh bunga tersebut di teras rumah bocah itu. Aku berharap bunga anyelir putih tersebut dapat menyampaikan permohonan maafku secara implisit.

Saat ini aku berdiri di depan rumah bocah laki-laki itu. Sepertinya, rumahnya sedang kosong. Dengan mengendap-endap, aku menaruh beberapa tangkai bunga anyelir itu di teras rumahnya. Aku memandang bunga-bunga itu sambil menerawang. Kemudian, dengan pelan aku menuruni anak tangganya dan memutuskan untuk bergegas pulang.

"Amanda!!"
Seorang wanita memanggil namaku. Aku menolehkan kepala dan melihat seorang wanita paruh baya membuka pintu rumah. Wajahnya sudah menunjukkan tanda-tanda penuaan, matanya terlihat lemah, tetapi kecantikannya tetap terlihat. Itu ibu bocah laki-laki itu. Wajahku memucat.

Sekilas, ibu itu melihat bunga anyelir di terasnya lalu menghampiriku.
"Kamu benar Amanda," ucapnya pasti sambil tersenyum. Aku menganggukkan kepala canggung.
Ibu itu merengkuh kedua tanganku.
"Kamu tidak perlu melakukan ini setiap tahun, Nak. Belasan tahun ini kami sudah rela dengan kepergian Adit," katanya sambil melihat bunga anyelir putih yang kutaruh di teras rumah.
"Bagaimana Ibu tahu?"
Ibu itu hanya tersenyum tidak menjawab pertanyaanku.
"Maafkan saya, Bu," ucapku sambil tidak bisa membendung air mata yang menetes.
"Ini semua sudah takdir, Nak. Tidak ada yang patut disalahkan, terlebih lagi saat itu kalian masih berumur lima tahun. Kehidupan dan kematian datang kapan saja," jawabnya bijak. "Sekali lagi, Nak, sudah cukup kamu menaruh bunga anyelir di teras kami. Seharusnya, kamu mengunjungi makam Adit dan mendoakannya," tambahnya sambil memelukku dan memberi tahu dimana Adit dimakamkan.

Adit dimakamkan di pemakaman dekat dari TK. Aku berjongkok di samping makamnya sambil menundukkan kepala berdoa. Aku menangis, tetapi langsung kuhapus setiap air mata yang mengalir. Tidak patut rasanya aku membawa kesedihan bertubi-tubi selama belasan tahun lamanya. Kutaruh bunga anyelir putih di atas makam Adit.
"Maaf aku baru bisa datang, Dit. Terima kasih atas semuanya."
Tidak banyak kata yang bisa kuucapkan karena aku yakin Adit pasti sudah tahu apa yang aku rasakan. Angin sepoi-sepoi menghangatkan pipiku, seakan menjadi sapaan dari Adit bahwa ia sudah bahagia di sana.

_OP_