Senin, 21 Juli 2014

Tips Semi - Backpacking Murah ke Bali (Bagi Pemula)

Bali adalah salah satu destinasi bagi wisatawan domestik atau mancanegara, betul? UAS berlalu dan liburan datang. Sebelum menyambut semester 4, bolehlah jalan-jalan ke Bali dulu. Niatnya sih mau backpacking ke sana, tapi karena baru pertama kali backpacking, alhasil jadinya semi-backpacking.

Hari Pertama
Dari Yogyakarta, kami naik kereta ekonomi Sri Tanjung dari Stasiun Lempuyangan menuju ke Stasiun Surabaya Gubeng Lama. Harga tiket Sri Tanjung Rp 55.000,00/orang dewasa saja. Sebenarnya, kami bisa saja meneruskan perjalanan menuju Banyuwangi menggunakan Sri Tanjung, tapi kami ingin jalan-jalan dulu di Surabaya. Mumpung mampir hehehe. Kami berangkat pukul 07.45 dan sampai di Surabaya sekitar pukul 15.45. Kami solat terlebih dahulu di stasiun. Perjalanan yang ditempuh selama 8 jam membuat perut kami lapar. Akhirnya kami singgah di Warung Sederhana Gubeng Pojok. Warung ini terletak tepat di sebelah selatan stasiun, jadi masih sekomplek dengan stasiun. Kalau bingung bisa tanya penduduk setempat karena warung ini cukup terkenal dengan kulinernya. Harga makanannya relatif terjangkau. Harga makanan, seperti soto, rawon, krengsengan (semacam oseng-oseng hati ayam), dll sekitar Rp 10.000,00/porsi. Harga minuman, seperti es teh, es jeruk, dll sekitar Rp 2.000,00.
(Angsle)
(Krengsengan)
Sambil menunggu kereta Mutiara Timur yang akan mengantar kami menuju Banyuwangi, kami jalan-jalan di kota Surabaya. Tidak jauh-jauh, kami berjalan sekitar 10 menit menuju Plaza Surabaya, mal yang cukup ramai di Surabaya. Menuju Plaza Surabaya, kita juga melewati delta yang terkenal dengan museum kapal selam di sebelahnya. Di Plaza Surabaya, kami membeli beberapa roti dan buah-buahan untuk sarapan keesokan harinya dan mencoba kuliner Surabaya lain, yaitu angsle. Angsle adalah minuman khas (mirip ronde) yang terdiri atas roti tawar, kacang merah, tape, kuahnya semacam santan. Kalau ke Jawa Timur, memang wajib hukumnya mencoba angsle. Harga angsle umumnya juga murah, sekitar Rp 5.000,00/porsi.
(Delta-Difoto dari jembatan)
Karena maghrib menjelang, kami solat dulu di masjid Gubeng (dekat stasiun Surabaya Gubeng Baru). Setelah itu, kami mencari makan malam. Kami menemukan pedagang kaki lima yang menjual ayam goreng, bebek goreng, lele goreng di seberang masjid gubeng. Nasi yang banyak dan bebek goreng yang lezat dengan harga yang relatif terjangkau (Rp8.000,00-Rp13.000,00/porsi) membuat kami puas. Fyi, dari stasiun hingga jalan-jalan ke Plaza Surabaya, dan kembali lagi ke stasiun kami tempuh dengan berjalan kaki. Jarak antara tempat-tempat ini memang relatif dekat. Tapi, saya sarankan hati-hati ketika menyeberang jalan di depan Stasiun Gubeng karena jalanan sangat ramai dan kami agak bingung dengan traffic lightnya.

Akhirnya, pukul 22.00 kami berangkat menuju Banyuwangi dari Stasiun Surabaya Gubeng Baru menggunakan kereta bisnis Mutiara Timur Malam. Harga tiket kereta bisnis Mutiara Timur Malam Rp 110.000,00/orang dewasa. Saya sarankan, jika berangkat langsung dari Surabaya, lebih baik beli tiket langsung Surabaya-Denpasar, karena sebenarnya PT KAI menyediakan bus Damri dari Banyuwangi ke Denpasar. Tapi, karena saya pesan tiketnya di Yogyakarta, akhirnya kami hanya membeli tiket Surabaya-Banyuwangi. Lebih hemat lagi kalau anda bisa kuat naik Sri Tanjung dari Yogyakarta langsung ke Banyuwangi.

Hari Kedua
Kereta Mutiara Timur Malam mengantarkan kami ke Stasiun Banyuwangi sekitar pukul 04.30. Begitu keluar stasiun, kami disambut oleh calo yang menawarkan tiket bis menuju Denpasar dengan harga lumayan mahal. Jika pandai menawar, harga bis Rp 50.000,00/orang pun bisa didapat. Tetapi, karena kami sudah lelah, maka ketika calo menawarkan harga bis Rp 70.000,00/orang pun akhirnya terpaksa kami terima. Dari Stasiun Banyuwangi menuju ke pelabuhan kami tempuh menggunakan becak seharga Rp 10.000,00. Sebenarnya kalau jalan kaki pun bisa karena jarak dari stasiun ke Pelabuhan Ketapang cukup dekat. Kami terpaksa naik becak karena takut ketinggalan kapal karena kami juga belum solat subuh.


Sesampainya di pelabuhan, kami langsung membeli tiket kapal seharga Rp 7.500,00/orang dan cepat-cepat menuju musolla untuk solat subuh. Setelah solat, kami berlari-lari menuju kapal karena kata calo yang bersangkutan, kapal yang akan kami naiki segera berangkat. Di atas kapal, kami menikmati angin laut pagi dan matahari terbit. Sayangnya, matahari tampak malu-malu menampakkan sinarnya karena langit pada pagi itu sedikit berawan. Saya sarankan ketika di kapal, berkumpullah dengan banyak orang karena beberapa kali saya mendengar kasus pencopetan atau ancaman dilakukan di atas kapal. Percaya dirilah dan jangan terlihat gugup.
(Selat Bali)
Kami turun dari kapal menggunakan bis yang tadi kami bayar melalui calo. Jangan lupa siapkan KTP begitu keluar pelabuhan karena setiap orang yang memasuki tanah Bali selalu dicek tanda pengenalnya. Menurut saya ini dampak traumatik dari insiden bom Bali. Perjalanan dari Pelabuhan Gilimanuk menuju Terminal Ubung cukup jauh. Oya, saya sarankan sebelum memilih bis yang akan dinaiki, bertanyalah terlebih dahulu apakah bis tersebut berhenti di Ubung atau tidak. Akan lebih baik jika bis tersebut langsung mengantar ke Denpasar, tapi biasanya hal ini jarang terjadi. Di sepanjang perjalanan, kita disuguhkan dengan pemandangan Bali yang khas, yaitu rumah-rumah dengan tempat peribadatan di depannya. Hal ini jarang sekali kita temukan di Pulau Jawa.

Begitu sampai di Ubung, saya sarankan mengambil angkot menuju ke Tegal. Kemudian dari Tegal, ambil angkot menuju ke Kute. Tetapi, ketika kami sampai di Ubung, hal ini sulit kami wujudkan karena kami sulit mendapat angkot menuju ke Tegal. Mungkin kami kurang beruntung. Akhirnya, ada angkot kosong yang kebetulan supirnya adalah mantan tour guide. Kami diantarkan oleh supir angkot tersebut langsung menuju Kute di daerah Monumen Bom Bali dengan biaya Rp 70.000,00, harga yang lumayan mahal.

Sesampainya di Monumen Bom Bali sekitar pukul 14.00, kami dengan mudah menemukan Jalan Poppies Lane II (tepat di depan Monumen Bom Bali). Kami langsung memasuki gang tersebut dan dengan mudah menemukan Losmen Arthawan di kiri jalan. Fyi, losmen ini adalah penginapan yang sering direkomendasikan oleh para backpacker. Dengan harga Rp 100.000,00/malam, kami bisa mendapatkan satu kamar double bed dengan kamar mandi dalam, fan, dan sarapan (pilih antara pancake atau roti). Di Arthawan juga disediakan rental motor Rp 50.000,00/24 jam. Tetapi ingat, begitu rental motor, harus cepat-cepat diisi bensinnya karena motor tersebut direntalkan dengan bensin hampir kosong. Rental motor juga sudah termasuk 2 helm. Saya anjurkan juga bawa mantol dari rumah, jaga-jaga kalau di rental motor tidak disediakan jas hujan.

Setelah istirahat beberapa jam, sore harinya kami berjalan-jalan ke Pantai Kuta. Jarak tempuh dari Arthawan hingga ke Kuta hanya sekitar 5 menit berjalan kaki. Sepanjang jalan kita juga disuguhi dengan berbagai macam oleh-oleh yang dijual oleh masyarakat lokal Bali. Kami juga mampir ke Beachwalk Mall yang terletak di seberang Pantai Kuta persis. Mal ini saya rekomendasikan karena memiliki view yang bagus. Tetapi, jika anda berniat backpacking, saya tidak menyarankan anda untuk berbelanja di sini karena harga barang-barangnya cukup mahal. Untuk makan, saya sarankan untuk membeli masakan padang yang cenderung murah. Masakan padang dapat ditemukan di sepanjang Jalan Raya Kuta. Bagi anda yang beragama Islam, menemukan makanan halal dan murah di sekitar Jalan Legian akan cukup sulit.

Hari Ketiga
Pagi-pagi kami sudah merental motor, langsung mengisi bensin, dan langsung meluncur ke Tanah Lot. Tarif masuk ke Tanah Lot adalah Rp 10.000,00/orang. Sayangnya, kami ke Bali bersamaan dengan Hari Raya Imlek, sehingga Tanah Lot dipenuhi turis-turis asing. Ketika kami ke sini, sedang ada ibadah yang dilakukan oleh masyarakat setempat, sehingga kami turut merasakan kekhusyukan ibadah mereka. Tanah Lot akan lebih indah lagi, jika anda mengunjunginya di saat pengunjungnya tidak terlalu padat. Selain itu, saya anjurkan jangan makan siang di kompleks Tanah Lot karena harga makanannya cukup mahal. Kami membeli soto daging dengan harga Rp 30.000,00/porsi di kompleks Tanah Lot tersebut. Kapok..
(Their Beliefs)
Dari Tanah Lot, kami keliling mencari oleh-oleh. Kami sempat nyasar untuk menemukan alamat pie susu Dhian (lokasinya bisa cari di Google). Saran saya, sebelum membeli, pesan pie susunya terlebih dulu. Karena kalau langsung membeli, biasanya stok pie susunya sudah habis. Kami juga sempat ke Krisna dan Joger untuk membeli oleh-oleh untuk teman dan keluarga. Sebenarnya kalau mau benar-benar backpacking, saya anjurkan tidak usah membeli oleh-oleh. Oleh-oleh Bali memang cukup mahal dan cukup menguras kantong.

Hari Keempat
Kali ini kami juga berangkat pagi-pagi dengan rental motor. Tujuan pertama kami adalah Tanjung Benoa. Untuk menuju ke Tanjung Benoa bisa ditempuh melalui Jalan Sunset Road. Untuk yang benar-benar backpacking, saya tidak menganjurkan untuk pergi ke Tanjung Benoa karena hiburan di Tanjung Benoa cukup mahal, seperti banana boat, dan sejenisnya. Tetapi, kalau waktunya masih sisa tidak ada salahnya jalan-jalan ke Tanjung Benoa karena sepanjang perjalanan kita disuguhi dengan pemandangan hutan bakaunya dan villa di kanan dan kiri jalan. Di sini kami juga menemukan fakta unik bahwa sebenarnya tukang parkir di Bali tidak sebanyak tukang parkir di Jogja. Sesampainya di Tanjung Benoa kami kebingungan mencari tempat parkir dan seorang ibu-ibu penjual kelapa muda menyuruh kami untuk memarkir motor di bawah pohon kelapa. Kami sempat takut karena tidak ada tukang parkir yang menjaga. Tetapi, ternyata parkir motor di Bali tanpa tukang parkir aman-aman saja. Bahkan, kami sempat melihat mobil kosong dengan kaca mobilnya yang terbuka dibiarkan saja. Oya, setau saya, seluruh pantai di Bali free, alias tidak ada tiket masuk, termasuk di Tanjung Benoa. Para backpacker yang cinta pantai bisa bebas keluar masuk pantai manapun di Bali.
(Janur pernikahan di Bali)
(Salah satu permainan di Tanjung Benoa)
Next, kami menuju ke Uluwatu.Tempat ini salah satu favorit kami karena pemandangannya yang benar-benar menakjubkan. Kita bisa melihat deburan ombak yang mengenai tebing dan pura-pura yang berdiri kokoh dengan uniknya. Monyet-monyet yang berada di Uluwatu juga memberikan atraksi menarik, seperti rebutan pisang atau berenang di kolam sambil bergelantungan dari pohon satu ke pohon lain. Tetapi, kita harus tetap hati-hati karena kalau kita menaruh kamera atau topi atau barang ringan lainnya sembarangan, monyet-monyet ini akan dengan jahil mengambil barang kita. Untuk berjaga-jaga, lebih baik membawa kayu atau ranting panjang untuk mengusir monyet yang berniat jahil kepada kita. Tarif masuk Uluwatu adalah Rp 15.000,00/orang. Saran saya, ketika ditawari untuk membeli pisang yang dipotong-potong, lebih baik ditolak dengan halus. Selain membayar lebih mahal untuk pisang tersebut, di dalam Uluwatu, para monyetpun sepertinya sudah kenyang dan tidak begitu berminat memakan pisang yang kita bawa. Saya anjurkan untuk membeli kelapa muda di kompleks Uluwatu karena pengalaman saya ketika membeli kelapa muda di situ tidak mengecewakan.
(Indahnya Uluwatu)
(Salah satu keunikan di Uluwatu)
Sorenya, kami menempuh perjalanan ke Kute dengan melewati Jimbaran dan GWK. Kami memutuskan untuk kembali ke Kute. Di Pantai Kute, kami melihat sunset dan berjalan-jalan keliling Kute sampai kami bosan. Jangan lupa juga untuk berfoto di depan Monumen Bom Bali untuk merasakan bagaimana rasanya benar-benar menjadi turis.
(Sunset di Pantai Kute)

Hari Kelima
Hari terakhir di Bali, kami berkemas pulang. Untuk kembali ke Jogja, kami memutuskan untuk naik pesawat. Jarak dari Arthawan ke Bandara Ngurah Rai cukup dekat. Pesawat kami take off pukul 08.00, sehingga pukul 06.30 kami sudah keluar hotel. Untuk menuju ke bandara, kami memilih naik taksi dengan mengeluarkan ongkos Rp 40.000,00 (sudah termasuk karcis taksi memasuki area bandara). Sebelum check in, kami membeli sarapan di Bangi Kopitiam (teh tariknya recommended). Akhirnya, kami pulang menuju Jogja. Sesampainya di Bandara Adi Sucipto, kami langsung menuju ke Stasiun Maguwoharjo yang jaraknya hanya beberapa meter dari bandara. Kami naik Prameks menuju Stasiun Lempuyangan dengan tiket Rp 8.000,00/orang dewasa.

(Teh tariknya nyaman)
Begitulah semi-backpacking kami. Over all, saya lebih suka liburan dengan cara seperti ini dari pada memakai travel agent. Selain menghemat uang, kita juga bisa lebih merasakan sense dari liburan tersebut. Tanpa oleh-oleh, liburan semi-backpacking ke Bali mungkin menghabiskan sekitar Rp 1.000.000,00-Rp 1.500.000,00/orang dewasa. Bisa lebih menghemat lagi kalau tidak perlu mampir Surabaya dan PP naik kereta-kapal-bis, tetapi tentu sangat melelahkan. Sebagai semi-backpackers pemula, saya anjurkan untuk membawa barang-barang penting, seperti KTP (harus ada di dompet setiap saat ya), peta (dan kalau bisa alat elektronik yang memiliki fasilitas gps di dalamnya), tisu basah & kering, mantol, masker & kaca mata hitam (untuk perjalanan menggunakan motor), P3K (obat tetes mata cukup penting), kaos kaki (bagi perempuan yang tidak ingin kakinya belang), sepatu yang nyaman di kaki, kamera untuk mengabadikan momen-momen menarik, selimut (untuk alas tidur bagi yang kulitnya sensitif), dan barang-barang pribadi lain yang dibutuhkan (seperti pakaian, dsb). Gunakanlah tas ransel agar nyaman dibawa kemana-mana dan tas kecil untuk menyimpan barang-barang penting, seperti dompet dan handphone. Pasanglah ekspresi wajah dan bahasa tubuh sepercaya diri mungkin, seakan-akan anda adalah orang asli Bali agar tidak mudah ditipu. Selain itu, pakai pakaian sederhana dan aksesoris seminimal mungkin agar tidak menarik perhatian orang yang tidak bertanggung jawab. Liburan tidak perlu mahal kok, tinggal bagaimana kita pandai-pandai mengelola uangnya. Selamat liburan! :-)

Kedai Pancake

this picture taken from : www.bbcgoodfood.com


Aku duduk di depan meja kasir sambil mencatat pemasukan kedai bulan ini. Kedai pancake, kedai yang sudah aku rintis sejak dua tahun lalu ini memang menjadi berkah tersendiri. Tetapi, mencari uang bukan tujuan utamaku membangun kedai ini. Melalui kedai ini, aku ingin dikelilingi oleh orang-orang yang belum aku kenal. Melalui kedai ini, aku ingin memberikan tempat untuk orang-orang yang belum aku kenal itu untuk mengekspresikan dirinya, menjadi dirinya, dan menceritakan cerita kehidupannya. Perlu dicatat, aku bukan tipe orang yang ingin ikut campur urusan orang. Tetapi, dengan tanpa mengenal mereka, aku ingin menjadi bagian dari mereka. Entah, keinginan ini kadang tidak bisa diekspresikan melalui kata-kata.

Jika kalian ingin tahu, aku anak tunggal, tapi dididik secara keras untuk menjadi pribadi yang independen. Aku bukan anak orang kaya. Ayahku sudah meninggal lima tahun yang lalu dan ibuku seorang janda yang kadang-kadang menerima pesanan jahitan. Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa aku bisa membuka kedai pancake ini. Ayahku dulu bekerja di BUMN dan gajinya sangat cukup untuk menghidupi aku dan ibuku. Sejak kecil, aku diajari menabung. Sampai saat ayahku meninggal, aku pelan-pelan bangkit dan menggunakan tabunganku untuk membuka usaha ini.


Ketika aku berusia 12 tahun, ayahku bertanya tentang apa sebenarnya tujuan hidupku. Katanya, tujuan manusia hidup adalah ingin bahagia. Namun, indikator apa yang dapat menentukan kamu bahagia atau tidak? Uang? Ketenaran? Kebanggaan? Kemurahan hati? Pertanyaan ayahku belum terjawab hingga saat ini.

Aku sering mengamati orang-orang di sekitarku. Ketika aku melihat tukang bangunan˗˗yang bekerja dengan riang di bawah sinar matahari yang terik dan keringat yang bercucuran˗˗aku bertanya dalam hati, “tidakkah kamu sedih karena bekerja susah payah dan tidak mendapatkan upah yang besar? Tetapi, kenapa kamu mengerjakan pekerjaanmu dengan riang?”. Ketika aku melihat seorang PNS berwajah gelisah keluar dari kantornya˗˗dengan jam tangan berhiaskan emas atau berlian˗˗aku bertanya dalam hati, “tidakkah kamu senang karena bekerja di dalam kantor ber-AC dan sanggup membeli jam tangan sedemikian indah? Tetapi, kenapa wajahmu begitu gelisah?”. Hal-hal ini lah yang memotivasiku untuk membuka sebuah kedai makanan˗˗tempat untuk berkumpul orang-orang bersama mereka yang dikasihinya. Aku ingin menjadi bagian dari mereka. Apa yang membuat mereka sedih? Apa yang membuat mereka bahagia? Selama dua tahun aku membuka kedai ini, aku mengetahui banyak cerita.

Aku ingin menceritakan padamu satu cerita menarik dari sekian banyak cerita menarik lainnya. Tetapi, aku takkan memaksamu untuk membaca ceritaku sampai selesai. Toh, aku bukan sastrawan yang pandai merangkai kata-kata. Jadi, kalau ceritaku membosankan, aku tidak melarang kalian untuk berhenti membaca ceritaku.

Di suatu malam, sekitar pukul 22.00, seorang laki-laki dan perempuan memasuki kedaiku. Aku mengira-ngira mereka adalah sepasang sejoli. Seperti pelanggan pada umumnya, mereka memesan pancake dan minuman. Kebetulan pada saat itu, pelanggan yang lain dan pegawaiku sudah pulang. Di dalam kedai hanya ada kami bertiga˗˗aku dan sepasang sejoli tadi. Setelah mengantarkan pesanan mereka, aku duduk di depan kasir. Antara kasir dan tempat duduk pelanggan dibatasi oleh kaca besar yang sedikit buram, sehingga aku tidak begitu bisa memperhatikan pelanggan tersebut. Namun, ukuran ruangan kedaiku memang tidak begitu luas, sehingga percakapan dalam suasana sepi dapat didengar sampai penjuru ruangan.

Aku duduk di depan kasir sambil membaca majalah. Aku mendengar dentingan garpu dan piring. Mereka makan dalam sunyi. Namun, tiba-tiba terdengar suara isakan perempuan. Aku terkejut dan langsung melihat ke sepasang sejoli tersebut. Si laki-laki menyodorkan tisu di atas meja ke perempuan tersebut.

“Kamu nangispun nggak akan menyelesaikan masalah, Na,” ujar si laki-laki.

Perempuan itu lalu mengusap pipinya yang berlinang air mata menggunakan tisu. Aku sudah panik dan bersiap-siap menelpon pegawai atau polisi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Pikiranku sudah merajalela kemana-mana. Pikiran-pikiran negatif membuat hatiku tidak tenang.

“Aku harus nyari obat kemana lagi, Wan? Obat-obat yang kemarin sudah nggak mempan,” jawab perempuan itu sambil terisak.

Wow, tanganku sudah memegang erat handphone, bersiap-siap menelepon seseorang.

“Kita harus tetap mencari, Na. Tante sudah mau berusaha, jadi kamu juga harus berjuang untuk kesembuhan dia.”

Tante?

“Aku cuma ingin Ibu sembuh, hanya itu. Kanker Ibu sudah sampai stadium 4. Gimana aku bisa tenang? Aku nggak siap kehilangan Ibu, Wan.”

Oke, jadi ibunya si perempuan ini sakit kanker dan laki-laki di depannya berusaha menenangkan perempuan ini. Aku sedikit tenang, tapi tetap menajamkan telingaku. Aku tidak begitu hapal perbincangan mereka malam itu. Untuk beberapa menit, si perempuan menangis terus. Si laki-laki berusaha menenangkannya, tapi belum berhasil. Sampai akhirnya, si perempuan berhenti menangis juga. Dalam hati, aku sedih melihat perempuan itu. Kanker memang bukan penyakit yang main-main. Kanker bisa merenggut hidup siapapun dan kapanpun.

“Kamu ingat pohon jeruk di depan rumah yang terkena hama ulat itu?” tanya si laki-laki. Si perempuan mengangguk pelan.

Nggak ada makhluk hidup yang hidup abadi di dunia. Makhluk hidup pasti mati, sesuai jalan yang di Atas. Pohon jeruk yang kena hama ulat itu bisa aja langsung mati, tapi Allah nggak menakdirkan itu. Pohon jeruk itu diberi hama agar orang-orang di sekitarnya punya kesempatan untuk berusaha merawatnya sampai hama ulatnya hilang. Kalau hama ulatnya nggak hilang, pohon jeruk itu akan cepat mati. Tetapi, kalau hama ulatnya hilang, toh pohon jeruk itu juga tetap akan mati˗˗bedanya kita lebih optimis kalau pohon jeruk itu akan hidup lebih lama.”

“Memang terdengar kasar. Tetapi, aku percaya kalau Allah memberi jalan yang berbeda-beda bagi setiap orang untuk mati. Ada yang mati ketika tidur. Ada yang mati ketika kecelakaan. Dan maaf, ada juga yang mati karena sakit. Aku bukan mau mendoakan yang jelek-jelek kepada ibumu, Na. Tetapi, percayalah, dengan sakit ini, Allah ingin mendekatkan kamu dengan ibumu dan ibumu dengan orang-orang di sekitarnya.”

“Dengan sakit, kamu dan ibumu jadi punya waktu lebih banyak untuk bersama-sama. Ketika ibumu masih sehat, kamu mengutamakan kuliah dan kerja part time. Aku bukan ingin menyalahkan kamu lho, Na. Aku berusaha agar kamu melihat musibah ini dari kaca mata yang berbeda. Dengan sakit ini, kamu juga secara tidak sadar belajar untuk pelan-pelan merelakan karena kamu tahu konsekuensi terburuk adalah kehilangan ibumu. Kamu dan ibumu jadi lebih menghargai waktu. Kamu juga jadi lebih sering berdoa untuk ibumu, kan?”

“Coba bayangkan, kalau orang yang kamu sayangi meninggal di saat kamu belum siap. Contohnya ketika orang yang kamu sayangi meninggal di saat dia tidur. Mungkin kamu akan menyesal karena kamu belum menghabiskan waktumu dengan dia. Mungkin kamu akan menyesal karena kamu belum mengucapkan “maaf” atau “terima kasih” ke dia. Musibah ini memberi kamu dan ibumu quality time yang tidak terhingga, Na. Allah mengajarimu untuk melepaskan hal yang berharga untuk mendapatkan hal yang lebih berharga lagi, yaitu pengorbanan, kekuatan, dan keikhlasan. Allah sayang sama kamu dan ibumu, Na.”

Aku tercengang mendengar nasihat dari si laki-laki. Tanpa sadar, aku mencengkeram bibir meja sambil termangu melihat mereka. Si perempuan sedari tadi hanya menunduk, tidak berani menatap lawan bicaranya.

Si perempuan tersenyum sekilas, “kamu berbicara seakan-akan ibuku sudah positif akan meninggal, Wan.”

Nggak, maksudku bukan gitu, Na….”

Tetapi, si perempuan memotong kalimat laki-laki itu, “apa yang kamu bilang tadi benar, kok. Aku selalu melihat musibah ini dari sisi negatifnya. Aku terlalu takut karena Ibu satu-satunya orang yang aku percaya di dunia ini. Tetapi, mendengar ceritamu tadi, percayaku ke Allah jadi lebih besar. Aku percaya Allah merencanakan jalan terbaik.”

Lalu, laki-laki itu tersenyum puas.

“Tapi, aku bakal terus berusaha agar ibuku sembuh,” ucap si perempuan optimis.

“Pasti! Habis ini balik lagi ke rumah sakit? Aku yakin, ibumu pasti ingin lebih menghabiskan waktunya sama kamu.” Beberapa menit kemudian, mereka membayar pesanan mereka dan meninggalkan kedai.

Malam itu dan perkataan laki-laki itu membuat aku sedih. Hal tersebut mengingatkanku bahwa memoriku dengan almarhum ayah benar-benar sedikit. Ayahku meninggal secara tiba-tiba karena sakit jantung ketika ia bertugas di luar kota. Kepergian ayahku yang mendadak itu membuat kesedihanku dan Ibu menjadi-jadi. Seperti yang dikatakan laki-laki tadi, ditinggalkan secara mendadak oleh orang yang kita sayangi membuat kita tidak siap kehilangan.

Tetapi, aku justru semakin semangat menjalani hidup, terutama membangun usaha kedai pancake ini. Aku yakin, ayahku bangga kepadaku karena aku berusaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang diajukannya ketika usiaku 12 tahun, yaitu “apa indikator yang membuat seseorang bahagia?”. Ngomong-ngomong, apa yang membuat kamu bahagia? Saranku, berbagilah dengan orang-orang yang kamu sayangi dan rajutlah memori sebanyak-banyaknya dengan mereka. Tidak ada yang salah ketika seseorang mengatakan bahwa indikator kebahagiaannya adalah uang, atau ketenaran, atau kebanggaan, atau kemurahan hatinya pada orang lain. Tetapi, hal-hal tersebut tidak akan membuatmu 100% bahagia kalau kamu tidak memanfaatkan waktumu semaksimal mungkin bersama orang yang kamu sayangi. Tidak percaya? Lain kali cobalah dan ceritakan padaku bagaimana hasilnya. Bahagiakah kamu?

*the end.

_OP_