Hari Pertama
Dari Yogyakarta, kami naik kereta ekonomi Sri Tanjung dari Stasiun Lempuyangan menuju ke Stasiun Surabaya Gubeng Lama. Harga tiket Sri Tanjung Rp 55.000,00/orang dewasa saja. Sebenarnya, kami bisa saja meneruskan perjalanan menuju Banyuwangi menggunakan Sri Tanjung, tapi kami ingin jalan-jalan dulu di Surabaya. Mumpung mampir hehehe. Kami berangkat pukul 07.45 dan sampai di Surabaya sekitar pukul 15.45. Kami solat terlebih dahulu di stasiun. Perjalanan yang ditempuh selama 8 jam membuat perut kami lapar. Akhirnya kami singgah di Warung Sederhana Gubeng Pojok. Warung ini terletak tepat di sebelah selatan stasiun, jadi masih sekomplek dengan stasiun. Kalau bingung bisa tanya penduduk setempat karena warung ini cukup terkenal dengan kulinernya. Harga makanannya relatif terjangkau. Harga makanan, seperti soto, rawon, krengsengan (semacam oseng-oseng hati ayam), dll sekitar Rp 10.000,00/porsi. Harga minuman, seperti es teh, es jeruk, dll sekitar Rp 2.000,00.
(Angsle) |
(Krengsengan) |
(Delta-Difoto dari jembatan) |
Akhirnya, pukul 22.00 kami berangkat menuju Banyuwangi dari Stasiun Surabaya Gubeng Baru menggunakan kereta bisnis Mutiara Timur Malam. Harga tiket kereta bisnis Mutiara Timur Malam Rp 110.000,00/orang dewasa. Saya sarankan, jika berangkat langsung dari Surabaya, lebih baik beli tiket langsung Surabaya-Denpasar, karena sebenarnya PT KAI menyediakan bus Damri dari Banyuwangi ke Denpasar. Tapi, karena saya pesan tiketnya di Yogyakarta, akhirnya kami hanya membeli tiket Surabaya-Banyuwangi. Lebih hemat lagi kalau anda bisa kuat naik Sri Tanjung dari Yogyakarta langsung ke Banyuwangi.
Hari Kedua
Kereta Mutiara Timur Malam mengantarkan kami ke Stasiun Banyuwangi sekitar pukul 04.30. Begitu keluar stasiun, kami disambut oleh calo yang menawarkan tiket bis menuju Denpasar dengan harga lumayan mahal. Jika pandai menawar, harga bis Rp 50.000,00/orang pun bisa didapat. Tetapi, karena kami sudah lelah, maka ketika calo menawarkan harga bis Rp 70.000,00/orang pun akhirnya terpaksa kami terima. Dari Stasiun Banyuwangi menuju ke pelabuhan kami tempuh menggunakan becak seharga Rp 10.000,00. Sebenarnya kalau jalan kaki pun bisa karena jarak dari stasiun ke Pelabuhan Ketapang cukup dekat. Kami terpaksa naik becak karena takut ketinggalan kapal karena kami juga belum solat subuh.
Sesampainya di pelabuhan, kami langsung membeli tiket kapal seharga Rp 7.500,00/orang dan cepat-cepat menuju musolla untuk solat subuh. Setelah solat, kami berlari-lari menuju kapal karena kata calo yang bersangkutan, kapal yang akan kami naiki segera berangkat. Di atas kapal, kami menikmati angin laut pagi dan matahari terbit. Sayangnya, matahari tampak malu-malu menampakkan sinarnya karena langit pada pagi itu sedikit berawan. Saya sarankan ketika di kapal, berkumpullah dengan banyak orang karena beberapa kali saya mendengar kasus pencopetan atau ancaman dilakukan di atas kapal. Percaya dirilah dan jangan terlihat gugup.
(Selat Bali) |
Begitu sampai di Ubung, saya sarankan mengambil angkot menuju ke Tegal. Kemudian dari Tegal, ambil angkot menuju ke Kute. Tetapi, ketika kami sampai di Ubung, hal ini sulit kami wujudkan karena kami sulit mendapat angkot menuju ke Tegal. Mungkin kami kurang beruntung. Akhirnya, ada angkot kosong yang kebetulan supirnya adalah mantan tour guide. Kami diantarkan oleh supir angkot tersebut langsung menuju Kute di daerah Monumen Bom Bali dengan biaya Rp 70.000,00, harga yang lumayan mahal.
Sesampainya di Monumen Bom Bali sekitar pukul 14.00, kami dengan mudah menemukan Jalan Poppies Lane II (tepat di depan Monumen Bom Bali). Kami langsung memasuki gang tersebut dan dengan mudah menemukan Losmen Arthawan di kiri jalan. Fyi, losmen ini adalah penginapan yang sering direkomendasikan oleh para backpacker. Dengan harga Rp 100.000,00/malam, kami bisa mendapatkan satu kamar double bed dengan kamar mandi dalam, fan, dan sarapan (pilih antara pancake atau roti). Di Arthawan juga disediakan rental motor Rp 50.000,00/24 jam. Tetapi ingat, begitu rental motor, harus cepat-cepat diisi bensinnya karena motor tersebut direntalkan dengan bensin hampir kosong. Rental motor juga sudah termasuk 2 helm. Saya anjurkan juga bawa mantol dari rumah, jaga-jaga kalau di rental motor tidak disediakan jas hujan.
Setelah istirahat beberapa jam, sore harinya kami berjalan-jalan ke Pantai Kuta. Jarak tempuh dari Arthawan hingga ke Kuta hanya sekitar 5 menit berjalan kaki. Sepanjang jalan kita juga disuguhi dengan berbagai macam oleh-oleh yang dijual oleh masyarakat lokal Bali. Kami juga mampir ke Beachwalk Mall yang terletak di seberang Pantai Kuta persis. Mal ini saya rekomendasikan karena memiliki view yang bagus. Tetapi, jika anda berniat backpacking, saya tidak menyarankan anda untuk berbelanja di sini karena harga barang-barangnya cukup mahal. Untuk makan, saya sarankan untuk membeli masakan padang yang cenderung murah. Masakan padang dapat ditemukan di sepanjang Jalan Raya Kuta. Bagi anda yang beragama Islam, menemukan makanan halal dan murah di sekitar Jalan Legian akan cukup sulit.
Hari Ketiga
Pagi-pagi kami sudah merental motor, langsung mengisi bensin, dan langsung meluncur ke Tanah Lot. Tarif masuk ke Tanah Lot adalah Rp 10.000,00/orang. Sayangnya, kami ke Bali bersamaan dengan Hari Raya Imlek, sehingga Tanah Lot dipenuhi turis-turis asing. Ketika kami ke sini, sedang ada ibadah yang dilakukan oleh masyarakat setempat, sehingga kami turut merasakan kekhusyukan ibadah mereka. Tanah Lot akan lebih indah lagi, jika anda mengunjunginya di saat pengunjungnya tidak terlalu padat. Selain itu, saya anjurkan jangan makan siang di kompleks Tanah Lot karena harga makanannya cukup mahal. Kami membeli soto daging dengan harga Rp 30.000,00/porsi di kompleks Tanah Lot tersebut. Kapok..
(Their Beliefs) |
Hari Keempat
Kali ini kami juga berangkat pagi-pagi dengan rental motor. Tujuan pertama kami adalah Tanjung Benoa. Untuk menuju ke Tanjung Benoa bisa ditempuh melalui Jalan Sunset Road. Untuk yang benar-benar backpacking, saya tidak menganjurkan untuk pergi ke Tanjung Benoa karena hiburan di Tanjung Benoa cukup mahal, seperti banana boat, dan sejenisnya. Tetapi, kalau waktunya masih sisa tidak ada salahnya jalan-jalan ke Tanjung Benoa karena sepanjang perjalanan kita disuguhi dengan pemandangan hutan bakaunya dan villa di kanan dan kiri jalan. Di sini kami juga menemukan fakta unik bahwa sebenarnya tukang parkir di Bali tidak sebanyak tukang parkir di Jogja. Sesampainya di Tanjung Benoa kami kebingungan mencari tempat parkir dan seorang ibu-ibu penjual kelapa muda menyuruh kami untuk memarkir motor di bawah pohon kelapa. Kami sempat takut karena tidak ada tukang parkir yang menjaga. Tetapi, ternyata parkir motor di Bali tanpa tukang parkir aman-aman saja. Bahkan, kami sempat melihat mobil kosong dengan kaca mobilnya yang terbuka dibiarkan saja. Oya, setau saya, seluruh pantai di Bali free, alias tidak ada tiket masuk, termasuk di Tanjung Benoa. Para backpacker yang cinta pantai bisa bebas keluar masuk pantai manapun di Bali.
(Janur pernikahan di Bali) |
(Salah satu permainan di Tanjung Benoa) |
(Indahnya Uluwatu) |
(Salah satu keunikan di Uluwatu) |
(Sunset di Pantai Kute) |
Hari terakhir di Bali, kami berkemas pulang. Untuk kembali ke Jogja, kami memutuskan untuk naik pesawat. Jarak dari Arthawan ke Bandara Ngurah Rai cukup dekat. Pesawat kami take off pukul 08.00, sehingga pukul 06.30 kami sudah keluar hotel. Untuk menuju ke bandara, kami memilih naik taksi dengan mengeluarkan ongkos Rp 40.000,00 (sudah termasuk karcis taksi memasuki area bandara). Sebelum check in, kami membeli sarapan di Bangi Kopitiam (teh tariknya recommended). Akhirnya, kami pulang menuju Jogja. Sesampainya di Bandara Adi Sucipto, kami langsung menuju ke Stasiun Maguwoharjo yang jaraknya hanya beberapa meter dari bandara. Kami naik Prameks menuju Stasiun Lempuyangan dengan tiket Rp 8.000,00/orang dewasa.
(Teh tariknya nyaman) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar