Jumat, 27 Desember 2013

Kehilangan



Perkuliahan hampir dimulai. Dosen kami, Pak Pri, memasuki ruangan kelas sambil membawa beberapa sketsa gedung. Ah, aku tidak tertarik untuk menikmati ocehannya mengenai sketsa gedung-gedung perkantoran itu. Membosankan. Dengan tenang, aku keluar ruangan dan berjalan menuju ke kamar mandi. Aku menyalakan keran dan mengusap wajahku dengan air yang mengalir. Segar. Kuliah Pak Pri memang membutuhkan tenaga ekstra agar tidak tertidur. Tertidur selama kuliah Pak Pri berarti bencana. Biasanya, spidol melayang ke kepala kita dan akan terasa sakit karena Pak Pri melemparnya dengan kencang. Ia paling tidak suka melihat mahasiswa tertidur selama ocehannya berlangsung. Setelah berjuang melawan keinginan untuk membolos, akhirnya aku memutuskan untuk memasuki ruangan. Pak Pri juga tidak suka jika mahasiswanya terlambat lebih dari 10 menit. Dosen ini memang banyak maunya.

Sesampainya di depan ruang kelas, aku justru menemukan seorang perempuan sedang duduk di lantai. Satu tangannya memeluk kaki dan satu tangannya lagi memegang HP yang didekatkan di telinganya. Wajahnya ia sembunyikan di antara lututnya. Sepertinya ia salah satu teman seangkatanku. Tifa? Tina? Ah, aku memang tidak pandai mengingat nama orang. Kuputuskan untuk masuk kelas dan mengabaikannya.

Ocehan Pak Pri sudah berlangsung selama 45 menit. Beberapa temanku sudah menguap. Ada beberapa yang pura-pura mendengarkan. Ada juga yang sembunyi-sembunyi bermain HP. Bahkan sudah banyak yang keluar kelas, mungkin untuk sekadar ke kamar mandi atau jalan-jalan. Tiba-tiba seorang perempuan masuk kelas dan mengambil tasnya. Dia berbicara sebentar dengan Pak Pri kemudian keluar kelas. Wow, tumben sekali Pak Pri memberi ijin. Sebentar, bukannya dia perempuan yang tadi aku temukan sedang duduk di lantai ya?

Akhirnya, perkuliahan Pak Pri selesai juga. Aku sudah siap beranjak keluar kelas ketika Pak Pri mengumumkan sesuatu. “Teman kalian, Tika, sedang dilanda musibah. Ayahnya meninggal karena kecelakaan. Saya harap kalian memberikan Tika dukungan agar dia dan keluarganya lebih tabah.” Oh, jadi perempuan tadi bernama Tika.

***

Di sini lah aku berada. Di depan rumah dengan bendera putih, rumah Tika. Perempuan itu terlihat sedang berdiri sambil menyambut tamu yang datang untuk melayat. Ia tidak menangis. Justru ia kelihatan tegar, sangat tegar. Ya sudahlah.. Toh, aku juga tidak berniat untuk menghiburnya. Aku hanya berniat untuk ikut menyolatkan almarhum ayahnya. Bisa dibilang targetku sedikit aneh. Sebulan sekali, aku menargetkan untuk dapat ikut menyolatkan orang meninggal. Well, cara yang sedikit “berbeda” dalam mencari pahala.

Aku berjalan menuju perempuan itu. Sekadar tersenyum untuk menyapanya bukan hal yang salah. Tetapi, dia justru membalikkan badan dan pergi begitu saja. Lho? “Nak, temannya Tika, kan? Bisa  minta tolong temani Tika? Dia tadi bilang mau jalan-jalan sebentar, tapi saya takut kalau ada apa-apa. Kondisinya sedang tidak stabil. Tolong ya, Nak,” seorang ibu berkata padaku kemudian pergi begitu saja. Menemani Tika? Aku? Aku bahkan sempat tidak mengingat namanya.

Dengan ragu-ragu aku mulai mengikuti Tika. Apa boleh buat? Kalau dia ditemukan bunuh diri, aku juga yang akan merasa bersalah.

***

Tika duduk di tepi sungai kecil. Kakinya terjulur ke dalam sungai, memainkan aliran sungai yang tenang. Aku duduk di salah satu cabang akar pohon yang mencuat, berjarak lima meter dari Tika. Ia menunduk, mungkin memikirkan sesuatu. Kuputuskan untuk memperhatikannya dari jauh. Selama dia tidak melakukan hal-hal yang berbahaya, seperti mencoba bunuh diri, aku akan diam saja. Kuperhatikan sekeliling. Jalanan sepi. Tak heran, rumah Tika memang berada di kompleks perumahan pinggir kota.


"Pram!" Aku menengok ke sumber suara. Ternyata Tika memanggilku. Ia melambaikan tangannya. Tika bahkan ingat namaku. Aku merasa jahat karena pernah melupakan namanya. Aku menghampiri Tika dan berdiri di sampingnya. Ia tersenyum sekilas menyambutku.

"Kok ada di sini? Bukannya tadi kamu melayat ke rumahku ya?"

"Tadi ada ibu-ibu yang menyuruhku untuk menemanimu," jawabku singkat.

"Oh, pasti ibuku.."

Ada jeda yang begitu lama.

"Bagaimana rasanya kehilangan seorang ayah?" tanyanya tiba-tiba.

"Kamu tahu kalau ayahku sudah meninggal?" tanyaku heran.

Ia menganggukkan kepala. "Almarhum ayahmu dikenang orang banyak," sahutnya sambil menerawang. Aku tersenyum. Ya.. Seorang pilot senior seperti ayahku yang pernah sukses mendaratkan pesawat secara darurat di Samudera Hindia memang menyisakan memori di sebagian orang.

"Sedih, marah, putus asa. Ingin sekali rasanya menggantikan posisi ayahku. Aku merasa kecil, bukan apa-apa jika ayahku tiada. Aku sempat tidak pergi ke sekolah selama seminggu. Aku merasa hidupku hancur tanpa ayahku." Aku memandang langit. Berharap ayahku mendengar keluh kesahku bahwa aku sangat sangat sangat mengharapkan kehadirannya.

"Seperti itukah kehilangan sosok ayah?" jawabnya getir. Aku menoleh ke arah Tika. Apakah aku tidak salah dengar? "Kita hidup untuk mati, bukan? Kehilangan orang itu wajar. Toh, semua orang akan mati. Aku akan mati, kamu akan mati. Cepat atau lambat kita pasti merasakan kehilangan. Aku tidak peduli dengan perasaanku sendiri, tapi aku peduli dengan kondisi keluargaku. Adikku yang masih duduk di bangku SD dan SMA. Ibuku yang selama ini menggantungkan hidup keluarga kami dengan penghasilan ayahku. Bagaimana masa depan keluargaku?"

Pemikiranku tak sejauh itu. Kuakui aku egois. Saat ayahku meninggal, aku hanya memikirkan diriku sendiri. Aku sama sekali tidak memikirkan keluargaku.

"Aku bingung dengan hal-hal itu, Pram. Bukannya aku tidak sayang ayahku. Aku menyayanginya, sangat. Tapi masa depan keluargaku jauh lebih penting dari perasaanku. Apa yang bisa aku lakukan dengan kondisi masa depanku yang masih angan-angan?"

Pertanyaan Tika menghilang di udara.

*the end.

_OP_

Kamis, 14 November 2013

Catching Fire di Halaman 337



Dengan kotak lukisanku di rumah, aku bisa membuat semua warna yang terbayangkan. Pink. Sepucat kulit bayi. Atau pink tua seperti tanaman rhubarb. Hijau seperti rumput di musim semi. Biru yang berkilau seperti es di dalam air.

Pernah, aku menghabiskan tiga hari untuk mencampur warna-warna cat sampai aku menemukan warna yang tepat untuk melukis sinar matahari di atas bulu berwarna putih. Tadinya kupikir warnanya kuning, tapi ternyata lebih dari itu. Lapisan demi lapisan beragam warna. Satu demi satu.

Aku belum bisa membuat warna pelangi. Karena pelangi biasanya muncul dalam waktu singkat dan lenyap terlalu cepat. Aku tak pernah punya cukup waktu untuk menangkapnya. Hanya sedikit warna biru di sini atau ungu di sana. Lalu pelangi itu menghilang. Lenyap di telan udara.

Terima kasih. Indah sekali.

-Peeta dalam Catching Fire karya Suzanne Collins-

Minggu, 03 November 2013

Arah Jam Satu



Sore ini mendung. Sesekali aku menengok ke jendela dan memandang langit yang mulai abu-abu. Matahari kini mengintip dari balik awan.

Aku menikmati soreku di sebuah kedai kopi pinggir kota. Milkshake vanilla kuesap hingga busa-busa dinginnya memenuhi rongga tenggorokan. Barista dan waitress di sini mengenalku sebagai pengecut. Aku mendatangi kedai kopi ini setiap weekend dan tidak pernah sekalipun memesan kopi. Ya.. Aku bukan penggemar kopi, terutama kopi hitam. Mereka sering menggeleng heran, "tidak menyukai kopi, tetapi mengapa mengunjungi kedai kopi setiap weekend?" Aku tersenyum, "oh, jadi kalian mengusirku?" Lalu mereka tertawa. Mereka hanya tidak tahu, tepatnya tidak mengamati, alasan kedatanganku.

Seseorang yang duduk di arah pukul satuku lah yang menjadi alasan. Setiap kali aku ke sini, air mukanya selalu nampak serius menghadap laptop. Kaca mata yang bertengger menambah kesan serius orang itu. Terkadang ia mengalihkan perhatian dengan mengaduk kopi hitam kental yang ia pesan beberapa jam yang lalu. Aku yakin kopinya sudah mendingin, tetapi ia terlalu malas untuk memanggil waitress. Ah, begitu sok tahunya aku. Pakaian yang dikenakannya tak jauh-jauh dari warna gelap. Dia hobi menggunakan hem atau sweater dengan jeans belel biru dongker. Aku tebak ia tipe orang yang membosankan.

Aku menggoyang-goyangkan kakiku, berharap ia menangkap gerakanku dan melihatku. Terkadang aku bersenandung lagu-lagu milik The Moldy Peaches, berharap ia mendengar dan melihatku. Bahkan aku sering bolak-balik ke kamar mandi agar ia bisa menyadari keberadaanku. Akan tetapi, ia tetap acuh tak acuh.

Siapa dia? Entahlah.. Aku rasa aku pernah melihatnya di kampus. Apakah ia salah satu seniorku? Atau salah satu asisten dosen? I have no idea. Yang jelas ia magnet yang membuatku menyisihkan waktu untuk datang ke mari, sekadar memesan segelas milkshake vanilla dan duduk mengamatinya.

***

Kurasakan keringat mengalir dari dahi. Aku berhenti berlari sejenak, terengah-engah, dan memandang tali sepatuku yang terlepas. Sambil mengeluh, aku memasukkan tali sepatu ke bawah telapak kaki dengan sembarangan dan terburu-buru. Map berisi naskah drama yang kugigit jatuh ke trotoar dan berterbangan. Aku mendengus jengkel dan dengan cepat merapikan naskah drama tersebut. Setelah memastikan bahwa tidak ada kertas yang tercecer dan tali sepatuku tidak mencuat keluar, aku kembali berlari.

Sesampainya di kedai kopi, aku membuka pintu kedai dengan terburu-buru. Bahkan sapaan "selamat datang di kedai kopi kami" dari waitress pun tak kupedulikan. Dengan langkah tergesa aku menyambangi tempat favoritku. Dengan cepat mataku melihat ke arah jam satu. Tidak ada siapapun di sana.

Aku langsung menghempaskan badanku di sofa tempat favoritku. Aku lemparkan map ke meja kayu di depanku. Kulirik jam dinding yang bertengger di depanku dan jam sudah hampir menunjukkan pukul 20.00. Aku menghela napas kecewa. Seorang waitress datang berniat mencatat pesananku dan kubalas dengan gumaman, "seperti biasa, Mbak." Ia membalas gumamanku dengan tersenyum simpul, seakan mengerti apa yang kumaksudkan. Ah, aku tak peduli apa dia mengerti atau tidak. Yang kupedulikan saat ini adalah kemana perginya orang misterius itu? Orang yang telah kuamati beberapa weekend terakhir ini secara diam-diam. Orang yang telah kutebak sifatnya dengan sok tahu. Orang yang diam-diam telah menyita waktuku. Apakah aku terlambat?

Ah, sudahlah.. Mungkin wajahnya yang familiar hanyalah imajinasiku. Mungkin dia hanya manusia biasa yang kebetulan duduk di arah jam satuku sambil serius memandangi laptopnya dan berusaha menikmati kopinya yang mendingin. Mungkin Tuhan menjawab doa-doaku.  He's not the right one. Aku berusaha mengusir pikiran-pikiranku tentang dia.

Kubuka map yang sempat kukacaukan beberapa menit yang lalu. Jika ada satu kertas saja yang hilang, maka matilah aku. Aku cek satu demi satu naskah drama itu, berharap tidak ada yang terlewat. Jendela di sampingku yang terbuka menarik perhatian. Tumben sekali pemilik kedai membuka jendela ini. Biasanya jendela terkunci rapat seakan tidak membiarkan seekor nyamuk pun mengganggu pengunjungnya. Oh, bulan sedang memamerkan kecantikannya rupanya. Aku mengalihkan pandangan dari naskah drama yang membosankan ke keindahan sinar bulan malam itu. Angin semilir membuatku terkantuk-kantuk.

Tiba-tiba saja angin meniup kertas yang berserakan di atas meja. Spontan, aku langsung menangkap satu demi satu kertas yang berterbangan. Akan tetapi, sialnya salah satu kertas terbang ke luar jendela. Dengan cepat aku menengok ke luar jendela dan berusaha menangkap kertas itu. Sial! Tanganku justru dengan sia-sia menangkap angin dingin yang bertiup malam itu.

Gegabah, aku meminta tolong kepada waitress untuk menjaga naskah yang belum sempat kurapikan. Dengan gesit aku berlari ke luar kedai. Mataku liar mencari selembar kertas yang tertiup angin. Akan tetapi, mataku justru bertumbukan dengan punggung seseorang yang sudah kukenal. Ia membalikkan badan dan tampak selembar kertas dipegangnya. Ia menggumam, seakan sedang membaca kertas tersebut. Aku terpaku, menunggu ia menyadari keberadaanku. Ia mengangkat wajahnya dan mata kami bertumbukan. Ah, si "arah jam satu"! Kami berpandangan dalam diam. Tiba-tiba ia tersenyum dan kubalas dengan senyuman pula. Aneh.. Apa dia mengenalku? Aneh.. Tidak ada salah satu dari kami yang memulai sapaan. Aneh.. Semakin lama kami semakin menyadari kebodohan kami. Dan.. Kami tertawa. Apakah kita sudah pernah bertemu sebelumnya, hei "arah jam satu"?

*the end.


_OP_