Perkuliahan hampir dimulai. Dosen kami, Pak Pri, memasuki
ruangan kelas sambil membawa beberapa sketsa gedung. Ah, aku tidak tertarik
untuk menikmati ocehannya mengenai sketsa gedung-gedung perkantoran itu.
Membosankan. Dengan tenang, aku keluar ruangan dan berjalan menuju ke kamar
mandi. Aku menyalakan keran dan mengusap wajahku dengan air yang mengalir. Segar.
Kuliah Pak Pri memang membutuhkan tenaga ekstra agar tidak tertidur. Tertidur selama
kuliah Pak Pri berarti bencana. Biasanya, spidol melayang ke kepala kita dan
akan terasa sakit karena Pak Pri melemparnya dengan kencang. Ia paling tidak
suka melihat mahasiswa tertidur selama ocehannya berlangsung. Setelah berjuang
melawan keinginan untuk membolos, akhirnya aku memutuskan untuk memasuki
ruangan. Pak Pri juga tidak suka jika mahasiswanya terlambat lebih dari 10
menit. Dosen ini memang banyak maunya.
Sesampainya di depan ruang kelas, aku justru menemukan
seorang perempuan sedang duduk di lantai. Satu tangannya memeluk kaki dan satu
tangannya lagi memegang HP yang didekatkan di telinganya. Wajahnya ia
sembunyikan di antara lututnya. Sepertinya ia salah satu teman seangkatanku. Tifa?
Tina? Ah, aku memang tidak pandai mengingat nama orang. Kuputuskan untuk masuk
kelas dan mengabaikannya.
Ocehan Pak Pri sudah berlangsung selama 45 menit. Beberapa temanku
sudah menguap. Ada beberapa yang pura-pura mendengarkan. Ada juga yang
sembunyi-sembunyi bermain HP. Bahkan sudah banyak yang keluar kelas, mungkin
untuk sekadar ke kamar mandi atau jalan-jalan. Tiba-tiba seorang perempuan masuk kelas
dan mengambil tasnya. Dia berbicara sebentar dengan Pak Pri kemudian keluar
kelas. Wow, tumben sekali Pak Pri memberi ijin. Sebentar, bukannya dia
perempuan yang tadi aku temukan sedang duduk di lantai ya?
Akhirnya, perkuliahan Pak Pri selesai juga. Aku sudah siap
beranjak keluar kelas ketika Pak Pri mengumumkan sesuatu. “Teman kalian, Tika, sedang
dilanda musibah. Ayahnya meninggal karena kecelakaan. Saya harap kalian
memberikan Tika dukungan agar dia dan keluarganya lebih tabah.” Oh, jadi
perempuan tadi bernama Tika.
***
Di sini lah aku berada. Di depan rumah dengan bendera putih, rumah Tika. Perempuan itu terlihat sedang berdiri sambil menyambut
tamu yang datang untuk melayat. Ia tidak menangis. Justru ia kelihatan tegar,
sangat tegar. Ya sudahlah.. Toh, aku juga tidak berniat untuk menghiburnya. Aku
hanya berniat untuk ikut menyolatkan almarhum ayahnya. Bisa dibilang targetku
sedikit aneh. Sebulan sekali, aku menargetkan untuk dapat ikut menyolatkan
orang meninggal. Well, cara yang sedikit “berbeda” dalam mencari pahala.
Aku berjalan menuju perempuan itu. Sekadar tersenyum untuk
menyapanya bukan hal yang salah. Tetapi, dia justru membalikkan badan dan pergi
begitu saja. Lho? “Nak, temannya Tika, kan? Bisa minta tolong temani Tika? Dia tadi bilang mau
jalan-jalan sebentar, tapi saya takut kalau ada apa-apa. Kondisinya sedang tidak stabil.
Tolong ya, Nak,” seorang ibu berkata padaku kemudian pergi begitu saja. Menemani
Tika? Aku? Aku bahkan sempat tidak mengingat namanya.
Dengan ragu-ragu aku mulai mengikuti Tika. Apa boleh buat? Kalau dia ditemukan bunuh diri, aku juga yang akan merasa bersalah.
***
"Pram!" Aku menengok ke sumber suara. Ternyata Tika memanggilku. Ia melambaikan tangannya. Tika bahkan ingat namaku. Aku merasa jahat karena pernah melupakan namanya. Aku menghampiri Tika dan berdiri di sampingnya. Ia tersenyum sekilas menyambutku.
"Kok ada di sini? Bukannya tadi kamu melayat ke rumahku ya?"
"Tadi ada ibu-ibu yang menyuruhku untuk menemanimu," jawabku singkat.
"Oh, pasti ibuku.."
Ada jeda yang begitu lama.
"Bagaimana rasanya kehilangan seorang ayah?" tanyanya tiba-tiba.
"Kamu tahu kalau ayahku sudah meninggal?" tanyaku heran.
Ia menganggukkan kepala. "Almarhum ayahmu dikenang orang banyak," sahutnya sambil menerawang. Aku tersenyum. Ya.. Seorang pilot senior seperti ayahku yang pernah sukses mendaratkan pesawat secara darurat di Samudera Hindia memang menyisakan memori di sebagian orang.
"Sedih, marah, putus asa. Ingin sekali rasanya menggantikan posisi ayahku. Aku merasa kecil, bukan apa-apa jika ayahku tiada. Aku sempat tidak pergi ke sekolah selama seminggu. Aku merasa hidupku hancur tanpa ayahku." Aku memandang langit. Berharap ayahku mendengar keluh kesahku bahwa aku sangat sangat sangat mengharapkan kehadirannya.
"Seperti itukah kehilangan sosok ayah?" jawabnya getir. Aku menoleh ke arah Tika. Apakah aku tidak salah dengar? "Kita hidup untuk mati, bukan? Kehilangan orang itu wajar. Toh, semua orang akan mati. Aku akan mati, kamu akan mati. Cepat atau lambat kita pasti merasakan kehilangan. Aku tidak peduli dengan perasaanku sendiri, tapi aku peduli dengan kondisi keluargaku. Adikku yang masih duduk di bangku SD dan SMA. Ibuku yang selama ini menggantungkan hidup keluarga kami dengan penghasilan ayahku. Bagaimana masa depan keluargaku?"
Pemikiranku tak sejauh itu. Kuakui aku egois. Saat ayahku meninggal, aku hanya memikirkan diriku sendiri. Aku sama sekali tidak memikirkan keluargaku.
"Aku bingung dengan hal-hal itu, Pram. Bukannya aku tidak sayang ayahku. Aku menyayanginya, sangat. Tapi masa depan keluargaku jauh lebih penting dari perasaanku. Apa yang bisa aku lakukan dengan kondisi masa depanku yang masih angan-angan?"
Pertanyaan Tika menghilang di udara.
*the end.
_OP_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar