this picture taken from : www.bbcgoodfood.com
Aku duduk di depan meja kasir sambil mencatat pemasukan kedai bulan ini. Kedai pancake, kedai yang sudah aku rintis sejak dua tahun lalu ini memang menjadi berkah tersendiri. Tetapi, mencari uang bukan tujuan utamaku membangun kedai ini. Melalui kedai ini, aku ingin dikelilingi oleh orang-orang yang belum aku kenal. Melalui kedai ini, aku ingin memberikan tempat untuk orang-orang yang belum aku kenal itu untuk mengekspresikan dirinya, menjadi dirinya, dan menceritakan cerita kehidupannya. Perlu dicatat, aku bukan tipe orang yang ingin ikut campur urusan orang. Tetapi, dengan tanpa mengenal mereka, aku ingin menjadi bagian dari mereka. Entah, keinginan ini kadang tidak bisa diekspresikan melalui kata-kata.
Jika kalian ingin tahu, aku anak tunggal, tapi dididik secara keras untuk menjadi pribadi yang independen. Aku bukan anak orang kaya. Ayahku sudah meninggal lima tahun yang lalu dan ibuku seorang janda yang kadang-kadang menerima pesanan jahitan. Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa aku bisa membuka kedai pancake ini. Ayahku dulu bekerja di BUMN dan gajinya sangat cukup untuk menghidupi aku dan ibuku. Sejak kecil, aku diajari menabung. Sampai saat ayahku meninggal, aku pelan-pelan bangkit dan menggunakan tabunganku untuk membuka usaha ini.
Ketika aku
berusia 12 tahun, ayahku bertanya tentang apa sebenarnya tujuan hidupku. Katanya,
tujuan manusia hidup adalah ingin bahagia. Namun, indikator apa yang dapat
menentukan kamu bahagia atau tidak? Uang? Ketenaran? Kebanggaan? Kemurahan hati?
Pertanyaan ayahku belum terjawab hingga saat ini.
Aku sering
mengamati orang-orang di sekitarku. Ketika aku melihat tukang bangunan˗˗yang bekerja dengan riang di
bawah sinar matahari yang terik dan keringat yang bercucuran˗˗aku bertanya dalam hati, “tidakkah
kamu sedih karena bekerja susah payah dan tidak mendapatkan upah yang besar? Tetapi,
kenapa kamu mengerjakan pekerjaanmu dengan riang?”. Ketika aku melihat seorang
PNS berwajah gelisah keluar dari kantornya˗˗dengan
jam tangan berhiaskan emas atau berlian˗˗aku
bertanya dalam hati, “tidakkah kamu senang karena bekerja di dalam kantor
ber-AC dan sanggup membeli jam tangan sedemikian indah? Tetapi, kenapa wajahmu begitu
gelisah?”. Hal-hal ini lah yang memotivasiku untuk membuka sebuah kedai makanan˗˗tempat untuk berkumpul
orang-orang bersama mereka yang dikasihinya. Aku ingin menjadi bagian dari
mereka. Apa yang membuat mereka sedih? Apa yang membuat mereka bahagia? Selama dua
tahun aku membuka kedai ini, aku mengetahui banyak cerita.
Aku ingin
menceritakan padamu satu cerita menarik dari sekian banyak cerita menarik lainnya.
Tetapi, aku takkan memaksamu untuk membaca ceritaku sampai selesai. Toh, aku
bukan sastrawan yang pandai merangkai kata-kata. Jadi, kalau ceritaku
membosankan, aku tidak melarang kalian untuk berhenti membaca ceritaku.
Di suatu
malam, sekitar pukul 22.00, seorang laki-laki dan perempuan memasuki kedaiku. Aku
mengira-ngira mereka adalah sepasang sejoli. Seperti pelanggan pada umumnya,
mereka memesan pancake dan minuman. Kebetulan
pada saat itu, pelanggan yang lain dan pegawaiku sudah pulang. Di dalam kedai
hanya ada kami bertiga˗˗aku
dan sepasang sejoli tadi. Setelah mengantarkan pesanan mereka, aku duduk di
depan kasir. Antara kasir dan tempat duduk pelanggan dibatasi oleh kaca besar
yang sedikit buram, sehingga aku tidak begitu bisa memperhatikan pelanggan
tersebut. Namun, ukuran ruangan kedaiku memang tidak begitu luas, sehingga
percakapan dalam suasana sepi dapat didengar sampai penjuru ruangan.
Aku duduk
di depan kasir sambil membaca majalah. Aku mendengar dentingan garpu dan
piring. Mereka makan dalam sunyi. Namun, tiba-tiba terdengar suara isakan
perempuan. Aku terkejut dan langsung melihat ke sepasang sejoli tersebut. Si laki-laki
menyodorkan tisu di atas meja ke perempuan tersebut.
“Kamu
nangispun nggak akan menyelesaikan
masalah, Na,” ujar si laki-laki.
Perempuan itu
lalu mengusap pipinya yang berlinang air mata menggunakan tisu. Aku sudah panik
dan bersiap-siap menelpon pegawai atau polisi jika terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan. Pikiranku sudah merajalela kemana-mana. Pikiran-pikiran negatif
membuat hatiku tidak tenang.
“Aku harus
nyari obat kemana lagi, Wan? Obat-obat yang kemarin sudah nggak mempan,” jawab perempuan itu sambil terisak.
Wow,
tanganku sudah memegang erat handphone, bersiap-siap
menelepon seseorang.
“Kita harus
tetap mencari, Na. Tante sudah mau berusaha, jadi kamu juga harus berjuang
untuk kesembuhan dia.”
Tante?
“Aku cuma ingin
Ibu sembuh, hanya itu. Kanker Ibu sudah sampai stadium 4. Gimana aku bisa tenang? Aku nggak
siap kehilangan Ibu, Wan.”
Oke, jadi
ibunya si perempuan ini sakit kanker dan laki-laki di depannya berusaha menenangkan
perempuan ini. Aku sedikit tenang, tapi tetap menajamkan telingaku. Aku tidak
begitu hapal perbincangan mereka malam itu. Untuk beberapa menit, si perempuan
menangis terus. Si laki-laki berusaha menenangkannya, tapi belum berhasil. Sampai
akhirnya, si perempuan berhenti menangis juga. Dalam hati, aku sedih melihat
perempuan itu. Kanker memang bukan penyakit yang main-main. Kanker bisa
merenggut hidup siapapun dan kapanpun.
“Kamu ingat
pohon jeruk di depan rumah yang terkena hama ulat itu?” tanya si laki-laki. Si perempuan
mengangguk pelan.
“Nggak ada makhluk hidup yang hidup abadi
di dunia. Makhluk hidup pasti mati, sesuai jalan yang di Atas. Pohon jeruk yang
kena hama ulat itu bisa aja langsung
mati, tapi Allah nggak menakdirkan
itu. Pohon jeruk itu diberi hama agar orang-orang di sekitarnya punya
kesempatan untuk berusaha merawatnya sampai hama ulatnya hilang. Kalau hama
ulatnya nggak hilang, pohon jeruk itu
akan cepat mati. Tetapi, kalau hama ulatnya hilang, toh pohon jeruk itu juga
tetap akan mati˗˗bedanya
kita lebih optimis kalau pohon jeruk itu akan hidup lebih lama.”
“Memang
terdengar kasar. Tetapi, aku percaya kalau Allah memberi jalan yang
berbeda-beda bagi setiap orang untuk mati. Ada yang mati ketika tidur. Ada yang
mati ketika kecelakaan. Dan maaf, ada juga yang mati karena sakit. Aku bukan
mau mendoakan yang jelek-jelek kepada ibumu, Na. Tetapi, percayalah, dengan
sakit ini, Allah ingin mendekatkan kamu dengan ibumu dan ibumu dengan
orang-orang di sekitarnya.”
“Dengan
sakit, kamu dan ibumu jadi punya waktu lebih banyak untuk bersama-sama. Ketika ibumu
masih sehat, kamu mengutamakan kuliah dan kerja part time. Aku bukan ingin menyalahkan kamu lho, Na. Aku berusaha agar kamu melihat musibah ini dari kaca mata
yang berbeda. Dengan sakit ini, kamu juga secara tidak sadar belajar untuk
pelan-pelan merelakan karena kamu tahu konsekuensi terburuk adalah kehilangan
ibumu. Kamu dan ibumu jadi lebih menghargai waktu. Kamu juga jadi lebih sering
berdoa untuk ibumu, kan?”
“Coba
bayangkan, kalau orang yang kamu sayangi meninggal di saat kamu belum siap. Contohnya
ketika orang yang kamu sayangi meninggal di saat dia tidur. Mungkin kamu akan
menyesal karena kamu belum menghabiskan waktumu dengan dia. Mungkin kamu akan
menyesal karena kamu belum mengucapkan “maaf” atau “terima kasih” ke dia. Musibah
ini memberi kamu dan ibumu quality time yang
tidak terhingga, Na. Allah mengajarimu untuk melepaskan hal yang berharga untuk
mendapatkan hal yang lebih berharga lagi, yaitu pengorbanan, kekuatan, dan
keikhlasan. Allah sayang sama kamu dan ibumu, Na.”
Aku tercengang
mendengar nasihat dari si laki-laki. Tanpa sadar, aku mencengkeram bibir meja
sambil termangu melihat mereka. Si perempuan sedari tadi hanya menunduk, tidak
berani menatap lawan bicaranya.
Si perempuan
tersenyum sekilas, “kamu berbicara seakan-akan ibuku sudah positif akan
meninggal, Wan.”
“Nggak, maksudku bukan gitu, Na….”
Tetapi, si
perempuan memotong kalimat laki-laki itu, “apa yang kamu bilang tadi benar,
kok. Aku selalu melihat musibah ini dari sisi negatifnya. Aku terlalu takut
karena Ibu satu-satunya orang yang aku percaya di dunia ini. Tetapi, mendengar
ceritamu tadi, percayaku ke Allah jadi lebih besar. Aku percaya Allah
merencanakan jalan terbaik.”
Lalu,
laki-laki itu tersenyum puas.
“Tapi, aku
bakal terus berusaha agar ibuku sembuh,” ucap si perempuan optimis.
“Pasti! Habis
ini balik lagi ke rumah sakit? Aku yakin, ibumu pasti ingin lebih menghabiskan
waktunya sama kamu.” Beberapa menit kemudian, mereka membayar pesanan mereka
dan meninggalkan kedai.
Malam itu
dan perkataan laki-laki itu membuat aku sedih. Hal tersebut mengingatkanku
bahwa memoriku dengan almarhum ayah benar-benar sedikit. Ayahku meninggal
secara tiba-tiba karena sakit jantung ketika ia bertugas di luar kota. Kepergian
ayahku yang mendadak itu membuat kesedihanku dan Ibu menjadi-jadi. Seperti yang
dikatakan laki-laki tadi, ditinggalkan secara mendadak oleh orang yang kita
sayangi membuat kita tidak siap kehilangan.
Tetapi, aku
justru semakin semangat menjalani hidup, terutama membangun usaha kedai pancake ini. Aku yakin, ayahku bangga
kepadaku karena aku berusaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang
diajukannya ketika usiaku 12 tahun, yaitu “apa indikator yang membuat seseorang
bahagia?”. Ngomong-ngomong, apa yang
membuat kamu bahagia? Saranku, berbagilah dengan orang-orang yang kamu sayangi
dan rajutlah memori sebanyak-banyaknya dengan mereka. Tidak ada yang salah
ketika seseorang mengatakan bahwa indikator kebahagiaannya adalah uang, atau ketenaran,
atau kebanggaan, atau kemurahan hatinya pada orang lain. Tetapi, hal-hal
tersebut tidak akan membuatmu 100% bahagia kalau kamu tidak memanfaatkan
waktumu semaksimal mungkin bersama orang yang kamu sayangi. Tidak percaya? Lain
kali cobalah dan ceritakan padaku bagaimana hasilnya. Bahagiakah kamu?
*the end.
_OP_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar