Senin, 21 Juli 2014

Kedai Pancake

this picture taken from : www.bbcgoodfood.com


Aku duduk di depan meja kasir sambil mencatat pemasukan kedai bulan ini. Kedai pancake, kedai yang sudah aku rintis sejak dua tahun lalu ini memang menjadi berkah tersendiri. Tetapi, mencari uang bukan tujuan utamaku membangun kedai ini. Melalui kedai ini, aku ingin dikelilingi oleh orang-orang yang belum aku kenal. Melalui kedai ini, aku ingin memberikan tempat untuk orang-orang yang belum aku kenal itu untuk mengekspresikan dirinya, menjadi dirinya, dan menceritakan cerita kehidupannya. Perlu dicatat, aku bukan tipe orang yang ingin ikut campur urusan orang. Tetapi, dengan tanpa mengenal mereka, aku ingin menjadi bagian dari mereka. Entah, keinginan ini kadang tidak bisa diekspresikan melalui kata-kata.

Jika kalian ingin tahu, aku anak tunggal, tapi dididik secara keras untuk menjadi pribadi yang independen. Aku bukan anak orang kaya. Ayahku sudah meninggal lima tahun yang lalu dan ibuku seorang janda yang kadang-kadang menerima pesanan jahitan. Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa aku bisa membuka kedai pancake ini. Ayahku dulu bekerja di BUMN dan gajinya sangat cukup untuk menghidupi aku dan ibuku. Sejak kecil, aku diajari menabung. Sampai saat ayahku meninggal, aku pelan-pelan bangkit dan menggunakan tabunganku untuk membuka usaha ini.


Ketika aku berusia 12 tahun, ayahku bertanya tentang apa sebenarnya tujuan hidupku. Katanya, tujuan manusia hidup adalah ingin bahagia. Namun, indikator apa yang dapat menentukan kamu bahagia atau tidak? Uang? Ketenaran? Kebanggaan? Kemurahan hati? Pertanyaan ayahku belum terjawab hingga saat ini.

Aku sering mengamati orang-orang di sekitarku. Ketika aku melihat tukang bangunan˗˗yang bekerja dengan riang di bawah sinar matahari yang terik dan keringat yang bercucuran˗˗aku bertanya dalam hati, “tidakkah kamu sedih karena bekerja susah payah dan tidak mendapatkan upah yang besar? Tetapi, kenapa kamu mengerjakan pekerjaanmu dengan riang?”. Ketika aku melihat seorang PNS berwajah gelisah keluar dari kantornya˗˗dengan jam tangan berhiaskan emas atau berlian˗˗aku bertanya dalam hati, “tidakkah kamu senang karena bekerja di dalam kantor ber-AC dan sanggup membeli jam tangan sedemikian indah? Tetapi, kenapa wajahmu begitu gelisah?”. Hal-hal ini lah yang memotivasiku untuk membuka sebuah kedai makanan˗˗tempat untuk berkumpul orang-orang bersama mereka yang dikasihinya. Aku ingin menjadi bagian dari mereka. Apa yang membuat mereka sedih? Apa yang membuat mereka bahagia? Selama dua tahun aku membuka kedai ini, aku mengetahui banyak cerita.

Aku ingin menceritakan padamu satu cerita menarik dari sekian banyak cerita menarik lainnya. Tetapi, aku takkan memaksamu untuk membaca ceritaku sampai selesai. Toh, aku bukan sastrawan yang pandai merangkai kata-kata. Jadi, kalau ceritaku membosankan, aku tidak melarang kalian untuk berhenti membaca ceritaku.

Di suatu malam, sekitar pukul 22.00, seorang laki-laki dan perempuan memasuki kedaiku. Aku mengira-ngira mereka adalah sepasang sejoli. Seperti pelanggan pada umumnya, mereka memesan pancake dan minuman. Kebetulan pada saat itu, pelanggan yang lain dan pegawaiku sudah pulang. Di dalam kedai hanya ada kami bertiga˗˗aku dan sepasang sejoli tadi. Setelah mengantarkan pesanan mereka, aku duduk di depan kasir. Antara kasir dan tempat duduk pelanggan dibatasi oleh kaca besar yang sedikit buram, sehingga aku tidak begitu bisa memperhatikan pelanggan tersebut. Namun, ukuran ruangan kedaiku memang tidak begitu luas, sehingga percakapan dalam suasana sepi dapat didengar sampai penjuru ruangan.

Aku duduk di depan kasir sambil membaca majalah. Aku mendengar dentingan garpu dan piring. Mereka makan dalam sunyi. Namun, tiba-tiba terdengar suara isakan perempuan. Aku terkejut dan langsung melihat ke sepasang sejoli tersebut. Si laki-laki menyodorkan tisu di atas meja ke perempuan tersebut.

“Kamu nangispun nggak akan menyelesaikan masalah, Na,” ujar si laki-laki.

Perempuan itu lalu mengusap pipinya yang berlinang air mata menggunakan tisu. Aku sudah panik dan bersiap-siap menelpon pegawai atau polisi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Pikiranku sudah merajalela kemana-mana. Pikiran-pikiran negatif membuat hatiku tidak tenang.

“Aku harus nyari obat kemana lagi, Wan? Obat-obat yang kemarin sudah nggak mempan,” jawab perempuan itu sambil terisak.

Wow, tanganku sudah memegang erat handphone, bersiap-siap menelepon seseorang.

“Kita harus tetap mencari, Na. Tante sudah mau berusaha, jadi kamu juga harus berjuang untuk kesembuhan dia.”

Tante?

“Aku cuma ingin Ibu sembuh, hanya itu. Kanker Ibu sudah sampai stadium 4. Gimana aku bisa tenang? Aku nggak siap kehilangan Ibu, Wan.”

Oke, jadi ibunya si perempuan ini sakit kanker dan laki-laki di depannya berusaha menenangkan perempuan ini. Aku sedikit tenang, tapi tetap menajamkan telingaku. Aku tidak begitu hapal perbincangan mereka malam itu. Untuk beberapa menit, si perempuan menangis terus. Si laki-laki berusaha menenangkannya, tapi belum berhasil. Sampai akhirnya, si perempuan berhenti menangis juga. Dalam hati, aku sedih melihat perempuan itu. Kanker memang bukan penyakit yang main-main. Kanker bisa merenggut hidup siapapun dan kapanpun.

“Kamu ingat pohon jeruk di depan rumah yang terkena hama ulat itu?” tanya si laki-laki. Si perempuan mengangguk pelan.

Nggak ada makhluk hidup yang hidup abadi di dunia. Makhluk hidup pasti mati, sesuai jalan yang di Atas. Pohon jeruk yang kena hama ulat itu bisa aja langsung mati, tapi Allah nggak menakdirkan itu. Pohon jeruk itu diberi hama agar orang-orang di sekitarnya punya kesempatan untuk berusaha merawatnya sampai hama ulatnya hilang. Kalau hama ulatnya nggak hilang, pohon jeruk itu akan cepat mati. Tetapi, kalau hama ulatnya hilang, toh pohon jeruk itu juga tetap akan mati˗˗bedanya kita lebih optimis kalau pohon jeruk itu akan hidup lebih lama.”

“Memang terdengar kasar. Tetapi, aku percaya kalau Allah memberi jalan yang berbeda-beda bagi setiap orang untuk mati. Ada yang mati ketika tidur. Ada yang mati ketika kecelakaan. Dan maaf, ada juga yang mati karena sakit. Aku bukan mau mendoakan yang jelek-jelek kepada ibumu, Na. Tetapi, percayalah, dengan sakit ini, Allah ingin mendekatkan kamu dengan ibumu dan ibumu dengan orang-orang di sekitarnya.”

“Dengan sakit, kamu dan ibumu jadi punya waktu lebih banyak untuk bersama-sama. Ketika ibumu masih sehat, kamu mengutamakan kuliah dan kerja part time. Aku bukan ingin menyalahkan kamu lho, Na. Aku berusaha agar kamu melihat musibah ini dari kaca mata yang berbeda. Dengan sakit ini, kamu juga secara tidak sadar belajar untuk pelan-pelan merelakan karena kamu tahu konsekuensi terburuk adalah kehilangan ibumu. Kamu dan ibumu jadi lebih menghargai waktu. Kamu juga jadi lebih sering berdoa untuk ibumu, kan?”

“Coba bayangkan, kalau orang yang kamu sayangi meninggal di saat kamu belum siap. Contohnya ketika orang yang kamu sayangi meninggal di saat dia tidur. Mungkin kamu akan menyesal karena kamu belum menghabiskan waktumu dengan dia. Mungkin kamu akan menyesal karena kamu belum mengucapkan “maaf” atau “terima kasih” ke dia. Musibah ini memberi kamu dan ibumu quality time yang tidak terhingga, Na. Allah mengajarimu untuk melepaskan hal yang berharga untuk mendapatkan hal yang lebih berharga lagi, yaitu pengorbanan, kekuatan, dan keikhlasan. Allah sayang sama kamu dan ibumu, Na.”

Aku tercengang mendengar nasihat dari si laki-laki. Tanpa sadar, aku mencengkeram bibir meja sambil termangu melihat mereka. Si perempuan sedari tadi hanya menunduk, tidak berani menatap lawan bicaranya.

Si perempuan tersenyum sekilas, “kamu berbicara seakan-akan ibuku sudah positif akan meninggal, Wan.”

Nggak, maksudku bukan gitu, Na….”

Tetapi, si perempuan memotong kalimat laki-laki itu, “apa yang kamu bilang tadi benar, kok. Aku selalu melihat musibah ini dari sisi negatifnya. Aku terlalu takut karena Ibu satu-satunya orang yang aku percaya di dunia ini. Tetapi, mendengar ceritamu tadi, percayaku ke Allah jadi lebih besar. Aku percaya Allah merencanakan jalan terbaik.”

Lalu, laki-laki itu tersenyum puas.

“Tapi, aku bakal terus berusaha agar ibuku sembuh,” ucap si perempuan optimis.

“Pasti! Habis ini balik lagi ke rumah sakit? Aku yakin, ibumu pasti ingin lebih menghabiskan waktunya sama kamu.” Beberapa menit kemudian, mereka membayar pesanan mereka dan meninggalkan kedai.

Malam itu dan perkataan laki-laki itu membuat aku sedih. Hal tersebut mengingatkanku bahwa memoriku dengan almarhum ayah benar-benar sedikit. Ayahku meninggal secara tiba-tiba karena sakit jantung ketika ia bertugas di luar kota. Kepergian ayahku yang mendadak itu membuat kesedihanku dan Ibu menjadi-jadi. Seperti yang dikatakan laki-laki tadi, ditinggalkan secara mendadak oleh orang yang kita sayangi membuat kita tidak siap kehilangan.

Tetapi, aku justru semakin semangat menjalani hidup, terutama membangun usaha kedai pancake ini. Aku yakin, ayahku bangga kepadaku karena aku berusaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang diajukannya ketika usiaku 12 tahun, yaitu “apa indikator yang membuat seseorang bahagia?”. Ngomong-ngomong, apa yang membuat kamu bahagia? Saranku, berbagilah dengan orang-orang yang kamu sayangi dan rajutlah memori sebanyak-banyaknya dengan mereka. Tidak ada yang salah ketika seseorang mengatakan bahwa indikator kebahagiaannya adalah uang, atau ketenaran, atau kebanggaan, atau kemurahan hatinya pada orang lain. Tetapi, hal-hal tersebut tidak akan membuatmu 100% bahagia kalau kamu tidak memanfaatkan waktumu semaksimal mungkin bersama orang yang kamu sayangi. Tidak percaya? Lain kali cobalah dan ceritakan padaku bagaimana hasilnya. Bahagiakah kamu?

*the end.

_OP_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar